ARTIKEL GILAMOLOGI

Assalamulaikum Wr.Wb… اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

BERAT/MASSA MATERI (ZAT/SEL) ALAM SEMESTA SELALU SAMA?

(Gilamologi Sebuah Kajian Alternatif Filsafat Bebas)

By: Filsuf Gila

Bismillahhirohmanirohim… بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya,”

(Al Hajr 22;8)

"Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?"

(Al Anbiyaa 21;10)

“Ini lah (Qur’an) pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang sungguh-sungguh meyakininya."

(Al-Jathiya 45: 20)

“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”

(Injil 1 Tesalonika. 5:21)

“Segala yang kuperintahkan kepadamu haruslah kamu laku-kan dengan setia, janganlah engkau menambahinya ataupun menguranginya.” (Ulangan 12:32)

ISLAM AJARAN TAUHID

ISLAM AJARAN TAUHID
"Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (Al Ikhlas 112;1-4)

Rabu, 23 Maret 2011

Konsep Keimanan Islam 1 (JILID 23 Hal 154-160)


Konsep Keimanan Islam (1)
  
Keimanan Islam sering disamakan dengan bentuk Keimanan agama lain, misalnya Agama Kristen. Keimanan sering disalahpahami dengan sekedar kata 'percaya'. Iman menurut definisi KBBI adalah 1 kepercayaan (yg berkenaan dng agama); keyakinan dan kepercayaan kpd Allah, nabi, kitab, dsb: -- tidak akan bertentangan dng ilmu; 2 ketetapan hati; keteguhan batin; keseimbangan batin. Keimanan tidak akan bertentangan dengan ilmu. Keimanan dalam Islam diawali dengan usaha-usaha memahami kejadian dan kondisi alam sehingga timbul dari sana pengetahuan akan adanya Yang Mengatur alam semesta ini, dari pengetahuan tersebut kemudian akal budi manusia akan berusaha memahami esensi dari pengetahuan yang didapatkannya. Keimanan dalam ajaran Islam tidak sama dengan doktrin, dogma atau persangkaan tapi harus melalui ilmu dan pemahaman.
Allah SWT sudah memberitahukan kepada umat Islam :
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (As Syura 42;52)
Implementasi dari sebuah keimanan seseorang adalah ia mampu berakhlak terpuji. Allah sangat menyukai hambanya yang mempunyai akhlak terpuji (Hablumminallah/hubungan manusia dengan Allah), demikian juga dengan sesama manusia akan sangat menyukai orang yang berakhlak baik (Hablumminannas/hubungan manusia dengan manusia). Akhlak terpuji dalam islam disebut sebagai akhlak mahmudah. Beberapa contoh akhlak terpuji antara lain adalah bersikap jujur, bertanggung jawab, amanah, baik hati, tawadhu, istiqomah dll. Bagaimanakah kita dapat menjalankan implementasi akhlak yang baik itu, tentu saja manusia memerlukan sebuah panduan hidup yang lengkap. Sebuah panduan dari Sang Penciptanya (Allah SWT) yaitu AlQuran. Yang tertuang dalam Surah pembuka AlQuran (Al Fatiha):
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di Hari Pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”(Al Fatiha 1; 1-7)
Sebagai umat islam kita mempunyai suri tauladan yang perlu untuk dicontoh atau diikuti yaitu nabi Muhammad SAW. Ia adalah sebaik-baik manusia yang berakhlak sempurna. Ketika Aisyah ditanya bagaimana akhlak rosul, maka ia menjawab bahwa akhlak Rosul adalah Al-quran. Artinya Rosul merupakan manusia yang menggambarkan akhlak seperti yang tertera di dalam Al-quran
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Yunus 10:36)
Adapun sikap 'percaya' didapatkan setelah memahami apa yang disampaikan oleh mu'min mubaligh serta visi konsep kehidupan yang dibawakan. Percaya Al-Qur'an dalam konteks sesuatu yang ghaib, atau yang belum terealisasi, ini artinya sifat orang yang beriman dalam tingkat paling rendah adalah mempercayai perjuangan para pembawa risalah dalam merealisasikan kondisi ideal bagi umat manusia yang dalam Qur'an disebut dengan 'surga' akibat amal pahala, serta meninggalkan kondisi buruk yang diamsalkan dengan 'neraka' akibat dosa. Dalam tingkat selanjutnya orang yang beriman ikut serta dalam misi penegakkan Din Islam. Adapun sebutan orang yang beriman adalah Mu'min.
Tahap-tahap keimanan dalam Islam adalah:
-         Dibenarkan di dalam qalbu (keyakinan mendalam akan Kebenaran yang disampaikan)
-         Diikrarkan dengan lisan (menyebarkan Kebenaran)
-         Diamalkan (merealisasikan iman dengan mengikuti contoh Rasul)
Tingkatan Keyakinan akan Kebenaran (Yaqin) adalah:
-         Ilmul Yaqin (berdasarkan ilmu)
-         'Ainul Yaqin (berdasarkan ilmu dan bukti-bukti akan Kebenaran)
-         Haqqul Yaqin (berdasarkan ilmu, bukti dan pengalaman akan Kebenaran)
“dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” (Al Araf 7;42)
Jika kita melihat Keimanan Islam diatas dengan pendekatan proses belajar manusia, maka sistematika proses berpikir keimanan Islam akan mejadi :
Dari TIDAK TAHU menjadi TAHU menjadi MENGERTI menjadi PERCAYA menjadi MEMAHAMI menjadi MEYAKINI menjadi MENG-IMAN-I.  Jadi Proses dari Tidak tahu sampai menjadi Iman, dijelaskan dalam agama Islam sebagai sebuah “Proses Keimanan”. Memiliki Integritas dan konsistensi terhadap proses pembelajaran proses Keimanan Islam itu sendiri dinamakan sebagai konsep “Ketaqwaan”. Arti kata taqwa itu sendiri adalah memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Muslim Yang tidak mengenal menyerah terhadap ketaqwaannya dan menyempurnakan ibadahnya dalam proses keimanan inilah yang dinamakan sebagai “MUKMIN” (Orang beriman). Sedangkan tujuan akhir dari proses keimanan ini adalah menjadi manusia Muslim sejati (Iman Islam tertinggi) atau kita katakan sebagai “IHSAN”. Dalam wikipedia dijelaskan konsep Ihsan :
“Ihsan (bahasa Arab: احسان) adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti "kesempurnaan" atau "terbaik." Dalam terminologi agama Islam, Ihsan berarti seseorang yang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya Allah melihat perbuatannya.
Berdasarkan hadist riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra.: Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Pada suatu hari, Rasulullah SAW muncul di antara kaum muslimin. Lalu datang seseorang dan berkata: "Wahai Rasulullah, apakah Iman itu?". Rasulullah SAW bersabda: "Yaitu engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, para utusan-Nya, dan beriman kepada Hari Kebangkitan akhir".
Orang itu bertanya lagi: "Wahai Rasulullah, apakah Islam itu?". Rasulullah SAW bersabda: "Islam, yaitu engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, mendirikan shalat fardhu, memberikan zakat wajib dan berpuasa di bulan Ramadhan".
Orang itu kembali bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah Ihsan itu?". Rasulullah SAW bersabda: "Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihat-Nya, maka ketahuilah bahwa Dia selalu melihatmu".

Proses dari Tidak tahu menjadi Tahu perintah, larangan, pahala dan ancaman dalam Islam adalah Syariat. Tahu akan hal tersebut (Syariat) dalam Islam. Bagaimana dari Tahu menjadi mengerti karena sudah melakukan cara-cara perintah, larangan, pahala dan ancaman tersebut disebut sebagai tingkatan Tarekat. Proses dari TIDAK TAHU menjadi MENGERTI inilah yang disebut sebagai penge-TAHU-an bagi umat Islam sebagai landasan dasarnya. Sampai tingkat ini disebut sebagai Muslim yang tingkat keimanannya sebagai “Ilmul Yaqin”. Tidak dibutuhkan sebuah proses pembelajaran yang panjang untuk mencapai tingkat pengertian, cukup bermodal penurut (Taat) dan mau belajar, mungkin ditambah dengan proses doktrin dari seseorang atau sesuatu yang berpengaruh dilingkungannya, maka umat Islam akan menjadi mengerti.
Pola peniruan ibadah dan taat terhadap tokoh agama yang dipercayanya untuk mencapai kesempurnaan ibadahnya adalah ciri-ciri umat muslim yang berada pada tingkatan Syariat dan Tarekat. Doktrin tentang surga-neraka, pahala-dosa dalam kaitannya dengan perjalanan ibadah mereka, ini adalah umat Muslim yang berpikir Syariat, termasuk didalamnya adalah manusia yang belum akil Baliq yaitu  anak-anak kecil. Oleh sebab itu Muslim yang berada pada tingkat keimanan ini banyak dipengaruhi dan tergantung dari tokoh pemimpin agamanya. Jika pemimpinnya baik dan lurus, maka luruslah umatnya. Sedangkan jika pemimpinnya sesat, maka sesatlah umatnya. Jadi tangungjawab sebagai tokoh pemimpin agama/ahli kitab sangat riskan, tidak mudah dan penuh amanah dunia dan akhirat.
Tingkatan dasar dari Syariat dan Tarekat ini dibutuhkan pada masyarakat yang masih berkembang. Tingkatan ini dibutuhkan pula oleh orang-orang yang baru belajar Islam dan anak-anak tentunya. Seperti halnya manusia yang baru pertama masuk sekolah, diperlukan ketaatan dan patuh pada gurunya untuk memulai pelajarannya. Dibutuhkan doktrin-doktrin dahulu seperti disiplin, rajin belajar, tidak melawan pada guru dan lain sebagainya, sebagai landasan dasar manusia untuk mulai belajar membuka mata dan mata hatinya.
Ciri-ciri umat Muslim yang berpikir syariat dan Tarekat misalnya adalah, Mengapa Shalat harus sujud dan bagaimana melakukan sujud yang benar? Maka jawabanya mereka adalah, Itu sesuai dengan perintah AlQuran dan Hadist dengan tauladan Nabi Muhammad SAW. Jadi jika anda menemukan Islam yang diistilahkan sebagai Islam KTP atau abangan, adalah menunjuk pada umat Islam yang berada pada tingkatan ini dan yang tidak mengetahui dan hanya menjalankan sekedar syariat dan tarekatnya dengan benar. Artinya tingkatan ini baru mengajarkan pada pengertian akan kebenaran ajaran dan tatacara ibadah/ritualnya saja. Pada tingkatan inilah, sebagai manusia biasa banyak yang merasa sudah tahu, padahal belum mengerti apalagi memahami. Sehingga perpecahan aliran penafsiran dan tarekatnya sering terjadi pada umat Islam pada tingkatan ini. Ini semua karena Ego manusia (Ingin merasa paling benar).
Bagi umat Islam, Orang yang mengaku sebagai penganut Kepercayaan atau mungkin juga Atheis adalah orang-orang yang berada pada tingkatan ini sekadar baru mau “Percaya”. Mungkin lingkungan keluarganya yang melahirkannya dengan agama tertentu tidak memberikan pengetahuan dasar. Sehingga anak tersebut lebih banyak mendapat informasi dari luar daripada keluarganya. Dan jika umat Kristen memahami Imannya sebagai bentuk rasa Percaya dahulu, maka umat Islam mengganggap bahwa Umat Kristen adalah orang-orang yang baru sebatas terdoktrinisasi oleh Gerejanya. Karena Proses antara Mengerti dan memahami dalam pemahaman umat Islam adalah baru sekedar rasa PERCAYA.
Sebagai contoh, umat Islam percaya bahwa Nabi Isa (Yesus menurut Kristen) hadir dengan membawa Alkitab Injil. Tapi dengan pengetahuan dasarnya, umat Islam tidak akan pernah bisa mengerti, memahami apalagi meyakini tentang apa yang ada dalam ayat-ayat Alkitab Injil sekarang ini. Berdasarkan pendidikan umum di Indonesia saja, kita sudah diajarkan hal-hal yang logis dan rasional. Sehingga pada saat membaca Alkitab Injil yang banyak kontradiksi dan mengandung hal-hal yang tidak rasional, maka umat Islam yang berada pada pendidikan umumpun akan sulit menerimanya, apalagi yang belajar di Pesantren.
Setelah umat Islam menjalankan syariat dan tarekatnya dengan baik, maka proses penyempurnaan ibadah itu sendiri terus berlansung. Dimana Orang yang ingin menyempurnakan ibadahnya mulai masuk dalam proses dari MENGERTI sampai menjadi MEMAHAMI. Proses ini adalah proses berpikir pada tingkatan Hakekat. Dimana dalam tingkatan ini pembelajarannya tidak semata-mata hanya sekedar ritual ibadahnya saja, melainkan lebih pada hukum alam dan maknanya, Apa makna yang terkandung dalam ibadah itu sendiri? Proses ini akan melalui yang namanya tingkat “Percaya/Kepercayaan” sebagai landasannya. Pada tingkat ini kesadaran dan kepercayaan diri sendiri terhadap hal-hal yang yang bersifat rohani mulai dimengerti dan dipahami.
Pada tingkat ini kepercayaan umat Islam kepada agamanya sebagai hukum penuntun kehidupan pribadi, berkeluarga dan bermasyarakat mulai dipahami dan disadari oleh kepercayaan pribadi. Kritisi-kritisi terhadap agama mulai terjadi pada tingkatan ini. Bukan atas dasar doktrin/dogma manusia lainnya. Hasil-hasil perbuatannya atas dasar tuntunan AlQuran dipahami mengandung nilai-nilai kebenaran. Tingkatan Keimanan ini dinamakan juga Keimanan “Ainul Yaqin”.  Untuk mencapai tingkatan ini tidaklah seseorang langsung dari yang tidak tahu kemudian langsung mengkritisi. Butuh pengetahuan dasar seperti pada tingkatan Ilmul Yaqin. Seseorang harus membuka diri dan membuka hatinya unutk belajar hal mendasar terlebih dahulu, kemudian baru masuk kedalam tingkatan kristisi ini. Maka hasilnya adalah dari olah pikir yang sempurna dan pengalaman syariat/tarekatnya atau tidak sekedar asal kritik dan berdebat. Jika kita menggunakan bahasa ilmiah, kritik dan debat yang sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah.
Sama seperti contoh diatas, jika kita ajukan pertanyaan kepada yang berada pada tingkatan Hakikat, Mengapa Shalat harus sujud? Selain jawaban syariat diatas, maka orang yang berada tingkatan Hakekat akan menceritakan dan menjelaskan apa “makna simbolisme” dari sujud. Dimulai dari makna menundukan kepala sampai menyentuh tanah, makna mensejajarkan kepala dengan kaki, makna sejarah shalat itu sendiri dan makna pengalaman spiritualnya. Artinya pada tingkatan ini umat Islam akan belajar Ilmu Pengetahuan dan mempercayainya sebagai bentuk ajaran kebenaran.
“Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” (Al Furqan 25;3)
“Inikah Tanda-tanda Kebesaran (Keberadaan) Allah?”
Semoga Hidayah Kebenaran Islam dari Allah SWT selalu bersama Anda.
Dan jika ada kesalahan tulisan..itu kesalahan saya sebagai Manusia Biasa.
“Katakanlah: "Jika aku sesat maka sesungguhnya aku sesat atas kemudharatan diriku sendiri; dan jika aku mendapat petunjuk maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat". (Saba 34;50)
May Allah Bless Us/You (MABU)!!!

Bersambung Ke...JILID 24 Hal 160-165

Senin, 21 Maret 2011

Perdebatan Ada Dan Tiada - Pendekatan Matematis 3 (JILID 22 Hal 148-154)


Perdebatan Ada Dan Tiada (Pendekatan Matematis 3)

Apakah Umat Kristen berani memajukan AlKitab Injilnya untuk diajukan sebagai bukti empiris Keberadaan dan Kebesaran Tuhannya? Seperti klaim yang umat kristen majukan, yang saya kutip dari 95 dalil Alkitabiah (Dede Wijaya)
“Percaya PRINSIP DELAPAN/OKTA SOLA yaitu -SOLA GRATIA (Hanya karena Anugerah/Kasih Karunia saja kita diselamatkan, Ef 2:8-10), -SOLA FIDE (Hanya karena IMAN saja kita diselamatkan, 1 Petrus 1:9, Ef 28-9, Yud 1:3, Ibrani 3:14, II Tim 4:7, 2 Tim 3:15), -SOLA SCRIPTURA (Hanya karena Kitab Suci/Alkitab saja 2 Tim 3:15), -SOLA AUTOGRAPHA (Hanya karena Naskah Asli Alkitab saja-yg sudah musnah-TANPA SALAH sedikitpun), -SOLA APOGRAPHA (Hanya Naskah Salinan MT-Masoretic Text untuk PL bahasa Ibrani dan TR-Textus Receptus untuk PB bahasa Yunani-Tanpa SALAH SEDIKITPUN), -SOLA SIDO (Hanya Pujian/Musik yang Terindah bagi Tuhan), Rm 15:9, Mrk 14:26, Ef 5:19, Kol 3:16. -SOLA/Solus CHRISTOS (Hanya lewat Tuhan Yesus Kristus kita diselamatkan) Kis 4:12, yang semuanya bermuara pada -Solideo Gloria (Segala Kemuliaan HANYA bagi Tuhan). Rm 11:36, Mat 6:13

Dan Ingat di Kata pembuka (Pendahuluan) Kitab Suci Alkitab Injil menuliskan bahwa Kitab Suci Alkitab Injil adalah benar “Firman Tuhan”. Jadi jangan sampai umat Kristen keluar dari pokok yang tertulis dalam Alkitab tersebut. Keluar dari tulisan tersebut dengan menyatakan bahwa Kesalahan yang terjadi pada Alkitab karena itu adalah hasil tulisan Manusia. Dan dengan entengnya, setiap konradiksi yang terjadi dianalogikan seperti reportase beberapa wartawan, yang mungkin saja bisa tejadi kesalahan/perbedaan tulisan dalam cara melihat kejadian (Lihat kasus Yudas sang Penghianat). Logika Ketuhanan hendak dibenturkan dengan Logika manusia.
Umat Islam sudah tahu bahwa bukti empiris yang akan diajukan oleh Umat Kristen adalah Yesus (Tuhan) yang menjelma sebagai Anak Manusia. Pendekatan antropomorfisme (Pola paganisme)  sudah lama dipakai oleh umat Kristen untuk meyakinkan umatnya tentang keberadaan Tuhan sebagai anak manusia. Nah, sekarang saya tidak akan mengubah keyakinan anda tentang Tuhan Yesus yang umat Kristen yakini.
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At Tauba 9;31)
Tetapi kita akan menguji, Apakah Tuhan-nya tidak akan melakukan kesalahan dalam Alkitabnya sesuai dengan klaim Prinsip SOLA SCRIPURA, SOLA AUTOGRAPHA, dan SOLA APOGRAPHA (Alkitab Tanpa Salah) diatas, serta Percaya dalam doktrin Alkitab yaitu Alkitab diwahyukan secara Verbal Plenary Inspiration (VPI) dan Dijaga tanpa salah sedikitpun atau Verbal Plenary Preservation (VPP). (Mzm 12:7, Mat 24:35, Mrk 13:31, Luk 21:33), terhadap usaha penyangkalan dengan prinsip FALSIFABILITAS? Kita akan saksikan dalam tulisan berikutnya.
Persoalan penemuan fenomena Tuhan sudah terjadi sebelum agama samawi diperkenalkan kepada kaum di wilayah Barat (Filsafat Barat). Pada masa itu kaum di belahan Barat masih menganut Paganisme. Paganisme adalah sebuah agama yang menyatakan yang “tidak nyata” menjadi “nyata” menurut indera manusia dalam bentuk berhala. Tehnik menjadikan yang tidak Nyata menjadi Nyata seperti sifat-sifat manusia adalah ide manusia itu sendiri.
“Dan mereka sediakan untuk berhala-berhala yang mereka tiada mengetahui (kekuasaannya), satu bahagian dari rezki yang telah Kami berikan kepada mereka. Demi Allah, sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang telah kamu ada-adakan.” (An Nahl 16;56)
Xenophanes membantah antropomorfisme  dewa-dewi, maksudnya penggambaran  dewa-dewi dalam rupa manusia. Menurut Xenophanes, manusia selalu menaruh sifat-sifat manusia kepada dewa-dewi sesuai kehendak mereka.
“Janganlah kamu adakan tuhan yang lain di samping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah).”(Israa 17;22)
Masa pengenalan agama samawi di wilayah Barat itu sendiri terjadi sejak Paulus, Barnabas dan Markus menyebarkannya. Ini yang menimbulkan banyak pertanyaan, Apakah Paulus murni menyebarkan pesan-pesan Yesus, ataukah ada maksud lain karena latar belakangnya sebagai mantan pembantai orang Kristen dari Paulus (orang Romawi) sendiri?
“Allah berfirman: "Janganlah kamu menyembah dua tuhan; sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut". (An Nahl 16;51)
Ada email dari Mars Prima" <primasitepu@ yahoo.com> yang cukup bagus saya dapatkan mengenai hal ini :
“Ini semua terjadi, menurut Saya, karena GBKP terlalu meng-ekspose/ melebih-lebihkan "sebagian kecil" dari Theologi Paulus, mengenai organisasi gereja. Sedikit analisa, Saya munculkan di sini (dengan bantuan tulisan Bpk. H.G Wells, The outline of history, MaxMillan Comp., 1930). Paulus yang berasal dari Tarsus (Kis 9:11), terlalu banyak menyimpang (banyak perbedaan pendapat) dengan Rasul-Rasul lainnya (band. Gal 1:16-19). Paulus terlalu sering bertengkar dengan saudara sepelayanannya dari pada dengan pihak luar. Ia berselisih tajam dengan Barnabas (Kis 15:39). Ia menuduh Petrus (murid yang dididik langsung oleh Yesus itu) dengan tuduhan "munafik" (Gal 2:11-14). Para Pengabar Injil yang lainnya, diberi gelar "Anjing" dan "Pekerja yang Jahat" (Fil 3:2). Hanya karena sedikit perbedaan pandangan , ada Rasul yang di cap dengan terus-terang sebagai "Rasul-rasul palsu" dan malahan "Pengajar Injil Lain" (Gal 1:8).
Menurut Wells, ada perbedaan mendasar theologi Yesus dan Paulus, yaitu :
- Yesus mengajarkan theologi "Kelahiran Baru", dari dalam (sekali lagi "dari dalam") manusia itu sendiri.
- Paulus menggambarkan theologi "Kelahiran Baru", yang diberikan/dianugera hkan dari luar (sekali lagi "dari luar") manusia itu sendiri. Pada hakekatnya, dia mengangkat ide klasik Yahudi, tentang korban darah penghapusan dosa. Dalam hal ini, Yesus-lah sebagai korban itu.”

Dari pendapat email diatas, sepertinya Kristen memiliki 2 aliran besar. Yang Pertama, adalah Pengikut Yesus dan yang Kedua adalah Pengikut Paulus. Pertanyaan baru muncul, Apakah Paulus menciptakan agama baru dalam hal ini dinamakan agama Kristen dengan memanfaatkan Yesus yang kemudian diangkat menjadi Tuhan?
“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah).” (Israa 17;39)
Percobaan penyimpangan ini juga nyaris terjadi pada masa perkembangan Islam. Dimana pada saat orang barat mengenal AlQuran, mereka mencoba menterjemahkan AlQuran berdasarkan kemampuannya sendiri. Mereka mencoba menterjemahkan Alquran sesuai dengan kehendak dan kepentingan mereka. Dibandingkan Alkitab Injil, AlQuran memiliki keberuntungan sebab ada naskah asli (5 AlQuran pertama/Al Mushhaf) yang menjadi standar bagi AlQuran yang asli sampai sekarang ini. Sehingga kaum Filsafat Barat atau oknum manusia lain tidak memiliki kesempatan untuk melakukan perubahan terhadap Teks asli AlQuran. Yang terjadi adalah kesalahan penerjemahan kedalam bahasa mereka, karena pada waktu itu mereka belum menguasai ilmu Bahasa Arab dengan benar.
Islam memperkenalkan Keberadaan Tuhan ditegaskan dalam Ayat-ayat AlQurannya. Persoalan membedah AlQuran dengan menggunakan kaidah Ilmu pengetahuan, akal budi manusia, rasionalitas dan logika sudah dipersilahkan dan ditegaskan sendiri dalam ayat-ayat AlQuran. Ditegaskan dalam Ayat Al-Quran sejak surah yang pertama.diturunkan:
“Ikraa!..Ikraa! (Bacalah…Bacalah!)”…Kitab Suci memerintahkan Umat Islam untuk selalu membaca atau belajar agar ilmu pengetahuan tersebut semakin berkembang dan semakin menegaskan untuk menunjukan tanda-tanda Kebesaran Allah SWT. Atau secara lengkapnya tertuang secara jelas dalam Surat Al-Alaq, Surah pertama yang diturunkan :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang menciptakannya. Dia telah ciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (pena). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Al Alaq 96; 1-5)
Ini bukan hanya sekedar perintah Jibril kepada Nabi Muhammad belaka. Ini adalah perintah Allah kepada seluruh umat Muslim. Dari kata “Ikraa” bacalah atau belajar saja ini sebuah pemahaman yang sangat luar biasa sekali. Mengapa Kitab Suci tidak mengatakan berpendidikanlah! Atau sekolahlah! Atau Firmankan/wahyukan! Karena pendidikan manusia memiliki jenjang yang terbatas. Sampai saat ini jenjang pendidikan yang dimiliki manusia hanya sampai S-3. Tetapi kata “belajar” atau “baca” tidak memiliki batasan. Kata Mem”baca” tidak dibatasi oleh jenjang pendidikan. Kemudian ini tidak dikatakan oleh Jibril kepada Muhammad untuk berfirman, karena ini Firman Tuhan bukan manusia. Dengan pemilihan kata yang begitu luas maknanya, memilki kandungan makna takterhingga dan disampaikan pada surah yang pertama kali diturunkan, Apakah ini perbuatan manusia?
“Baca” dalam pengertian objeknya juga bukan hanya menyangkut AlQuran semata secara harafiah/syariat, melainkan lebih kepada membaca fenomena alam semesta (Hakekat/Marifat). Membaca hasil kajian-kajian ilmu pengetahuan dari cerdik cendikia manusia itu sendiri. Baca memberi makna juga untuk mengetahui, mengerti dan memahami tanpa batasan (metode Deduktif). Artinya bahwa pada saat kita berpikir menggali sesuatu dengan metode Deduktif, maka tidak ada batasan bagi manusia untuk berpikir. Berpikir sedalam-dalamnya, seluas-luasnya, sebanyak-banyaknya dan sekritis-kritisnya. Serta mengupayakan, menemukan, melahirkan, merekayasa ilmu-ilmu terapan baru yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan manusia.
Tetapi pada saat mengunakan metode Induktif, maka ada satu titik dimana semua itu akan bermuara pada Hukum Alam semesta. Hukum Alam semesta yang bermuara pada Pencipta-Nya (Kreasionis) yaitu Allah SWT yang tertuang dalam Kitab Suci Alquran. Pada titik inilah kita manusia sudah masuk dalam Ruang Kosong yang tidak dapat melewati batas ruang dan waktu lagi. Tidak mungkin ada hukum diatas hukum alam semesta lagi. Seperti yang dikatakan Heraklitos bahwa segala sesuatu yang terus berubah di alam semesta dapat berjalan dengan teratur karena adanya logos. Logos adalah rasio yang menjadi hukum yang menguasai segala-galanya dan menggerakkan segala sesuatu, termasuk manusia.
Hal ini juga sesuai dengan pemikiran Aristoteles Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Pemikiran lainnya adalah tentang gerak dimana dikatakan semua benda bergerak menuju satu tujuan, sebuah pendapat yang dikatakan bercorak teleologis. Karena benda tidak dapat bergerak dengan sendirinya maka harus ada penggerak dimana penggerak itu harus mempunyai penggerak lainnya hingga tiba pada penggerak pertama yang tak bergerak yang kemudian disebut dengan theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan.
Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking).
Dapat dikatakan pula bahwa Alquran adalah Kumpulan hukum-hukum alam semesta yang terperinci (Full Detail). Terperinci dalam tataran hukum dan bukan teori apalagi teknis. Dapat dibayangkan jika seluruh perincian teori dan teknisnya ada dalam Alquran, maka tebalnya Alquran akan tidak ubahnya seperti perpustakaan yang menampung seluruh buku yang ada dimuka bumi.
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)". (Al Kahf 18;109)
Perincian pada tataran Teori dan Teknis pelaksanaannya-pun (Syariat dan Tarekat) adalah perincian terbatas pada ajaran utamanya yang kemudian umat Islam miliki sebagai Kitab Hadist.
“Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu).” (Al Furqan 25;9)
Dari hal ini saja terbukti, semakin manusia menemukan ilmu pengetahuannya, semakin benarlah apa yang disampaikan Allah SWT melalui Kitab Suci AlQuran sebagai bukti objek Empiris. Dalam Konteks Umat Islam, belajar adalah untuk memahami. Memahami akan meningkatkan KEYAKINAN. Dan Keyakinan ini akan menimbulkan KEIMANAN DAN KETAQWAAN. Umat Islam SEPAKAT bahwa ketidaknyataan (Zat yang tidak menyerupai zat apapun) Allah adalah NYATA adanya. Allah dianggap Nyata oleh Umat Islam  dikarenakan adanya tanda-tanda keilmuan yang disampaikan melalui Kitab Suci Al-Quran yang sebelumnya manusia tidak ketahui, dan bukan manusia pelakunya. Pembuktian Keilmiahan atau isi yang mengandung Ilmu pengetahuan dalam Al-Quran itu sendiri dibuktikan setelah berabad-abad perkembangan pemikiran manusia (budaya dan peradaban). Jadi kalau Allah tidak Nyata, Siapakah yang membuat Al-Quran itu sendiri, sedangkan kemajuan ilmu pengetahuan dan kelengkapannya baru diketemukan akhir-akhir ini (setelahnya)?
Terhadap manusia-manusia yang sombong dan tidak mengakui adanya Tuhan, Allah menanyakan kepada mereka tentang ciptaanNya. Manusiakah yang menciptakan, atau Tuhan yang Maha Pencipta?:
“Maka terangkanlah kepadaKu tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?” [Al Waaqi’ah:58-59]
“Maka terangkanlah kepadaKu tentang yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?” [Al Waaqi’ah:63-64]
“Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kamikah yang menjadikannya?” [Al Waaqi’ah:72]
“Inikah Tanda-tanda Kebesaran (Keberadaan) Allah?”
Semoga Hidayah Kebenaran Islam dari Allah SWT selalu bersama Anda.
Dan jika ada kesalahan tulisan..itu kesalahan saya sebagai Manusia Biasa.
“Katakanlah: "Jika aku sesat maka sesungguhnya aku sesat atas kemudharatan diriku sendiri; dan jika aku mendapat petunjuk maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat". (Saba 34;50)
May Allah Bless Us/You (MABU)!!!

Bersambung Ke...JILID 23 Hal 154-160

Sabtu, 19 Maret 2011

Perdebatan Ada Dan Tiada - Pendekatan Matematis 2 (JILID 21 Hal 142-148)


Perdebatan Ada Dan Tiada (Pendekatan Matematis 2)

  Berdasarkan SIMPULAN GILAMOLOGI diatas dikaitkan dengan pendekatan Matematis (jilid sebelumnya) untuk membuktikan ketidaknyataan menjadi kenyataan, maka pembuktian dengan pendekatan matematis bukanlah metodologi empiris. Pendekatan Matematis adalah pendekatan Rasionalis dan Logis. Secara tegas Gilamologi menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat dihadirkan dalam bentuk Materi (seperti materi yang ada di alam semesta ini) dan dibuktikan secara Empiris menurut kemampuan Indera Manusia. Dan Alquran sudah menyampaikan hal ini juga.
“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (Al Mulk 67;12)
Manusia juga memiliki keterbatasan Indra (nanti akan saya jelaskan, salah satunya dengan teori Optik). Tantangan pembuktian empiris ini sudah dilakukan kaum kafir dan fasik sejak jaman dahulu kala, dan Allah SWT sudah mengetahui hal ini.
“Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dan bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca". Katakanlah: "Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?"(Israa 17;90-93)
Pendekatan Matematis untuk menyatakan ketidaknyataan diatas-pun adalah Simpulan Rasionalis dan logis. Sebuah simpulan yang membuktikan keberadaan atas dasar rasional yang logis. Tetapi Gilamologi ingin menghadirkan jejak historis dan bukti Empiris dari Sang Pencipta (Allah SWT) dalam bentuk hasil perbuatannya atau objeknya yaitu AlQuran, yang diduga adalah hasil perbuatan, perkataan (Firman/wahyu) dan mengandung/ menjelaskan sifat-sifat Ke-Maha-an-Nya.
(Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), tetapi Allah mengakui Al Qur'an yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya; dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi (pula). Cukuplah Allah yang mengakuinya. (An Nisaa 4;166)
Sifat Ke-Mahaan ini hanya dimiliki Logos (Theis) dalam bentuk zat yang tidak menyerupai zat apapun yaitu Allah SWT. Heraklitos-pun sudah memahami secara Filsafat tentang hal ini dengan mengatakan bahwa Logos adalah rasio yang menjadi hukum yang menguasai segala-galanya dan menggerakkan segala sesuatu, termasuk manusia. Segala sesuatu yang terus berubah di alam semesta dapat berjalan dengan teratur karena adanya logos.  Logos  juga dipahami sebagai sesuatu yang material, namun sekaligus melampaui materi yang biasa (zat yang tidak menyerupai zat apapun). Sehingga jika AlQuran dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan yang didalamnya mengandung Hukum ilmu pengetahuan, maka Alquran bukan sekedar Objek Empiris, melainkan Subjek yang mewakili Keberadaan dan Kebesaran Allah SWT.
“Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang kafir itu berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata."(Al Anam 6;7)
Alquran diajukan sebagai bukti Empiris, karena beberapa hal :
1.      Alquran berbicara tentang dirinya sendiri dan menegaskan bahwa diriNya adalah Wahyu atau Firman Allah (Tuhan) yang mengandung Kebenaran Mutlak. Ayat-ayat tersebut antara lain :
“Alif laam miin. Kitab (Al Quraan) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, "(Al baqara 2;1-2)
“Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil,”(Al Imran 3;3)
“Alif laam mim shaad. Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)” (Al Araf 7;1-3)
“Alif laam raa. Inilah ayat-ayat Al Qur'an yang mengandung hikmah.”(Yunus 10;1)
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu, (Al Hud 11;1)
“Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al Qur'an) yang nyata (dari Allah).” (Yusuf 12;1)
“Alif laam miim raa. Ini adalah ayat-ayat Al Kitab (Al Quraan). Dan Kitab yang diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar: akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya).”(Ar Rad 13;43)
“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”(Ibrahim 14;1)
“Alif, laam, raa. (Surat) ini adalah (sebagian dari) ayat-ayat Al-Kitab (yang sempurna), yaitu (ayat-ayat) Al Qur'an yang memberi penjelasan.(Al Hijr  15;1)
Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: "Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku".(An Nahl 16;2)
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya;(Al Kahf 18;1)
“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.” (Ta Ha 20;1-4)
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam,”(Al Furqon 25;1)
“(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya.”(An Nur 24;1)
“Thaa Siim Miim.Inilah ayat-ayat Al Qur'an yang menerangkan.”(Ash Shuaraa 26;1-2)
“Thaa Siin (Surat) ini adalah ayat-ayat Al Quraan, dan (ayat-ayat) Kitab yang menjelaskan,”(An Naml 27;1)
“Thaa Siin Miim. Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al Qur'an) yang nyata (dari Allah). (Al Qasas 28;1-2)
 “Alif Laam Miim. Turunnya Al-Quraan yang tidak ada keraguan di dalamnya, (adalah) dari Tuhan semesta alam.”(As Sajda 32;2)
“Kitab (Al Quraan ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quraan) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya.” (Az Zumar 39;1-2)
“Haa Miim. Diturunkan Kitab ini (Al Qur'an) dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui,”(Al Mumin 40;1-2)
“Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan.” (Ha Mim 41;1-4)
“Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Qur'an dalam bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada ummul Qura (penduduk Mekah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.(Ash Shura 53;7)
“Haa Miim. Demi Kitab (Al Qur'an) yang menerangkan. Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya Al Qur'an itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.” (Az Zukhruf 54;1-4)
Dan lain sebagainya.

          Saya tidak dapat menuliskan semuanya, karena hampir disetiap ayat pembuka Surat-surat Alquran, ada penjelasan dan penegasan bahwa Alquran adalah Wahyu/Firman yang diturunkan Allah kepada Manusia. Inilah dasar dari bukti Empiris yang saya ajukan. Sebuah tantangan dari sang Pencipta Yang menguasai “Ke-Maha-an” dan Kebenaran Mutlak, untuk manusia membuktikan Keberadaan dan Kebesaran-Nya. Apakah AlQuran yang menyatakan dirinya tidak mengandung kesalahan (Kebenaran Mutlak) dapat dijadikan alat bukti Empiris dikaitkan dengan bukti dari “jejak-jejak” Historis dan bukti ilmiah lainnya?
2.      Ayat-ayatnya banyak mengandung hal-hal yang menjadi sumber ilmu pengetahuan (Hukum alam). Sebelumnya ilmu pengetahuan tersebut belum pernah diketemukan atau diteliti ataupun disadari oleh manusia sebagai mahluk pemilik “akal budi”. Dimana ilmu pengetahuan ini sekarang dapat dibuktikan dengan kebenaran Ilmiah manusia (berabad-abad kemudian). Walaupun Alquran sudah memprediksi apa yang akan kaum kafir katakan:
 Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur'an itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (Q.s. Fushshilat: 53).
3.      Alquran yang diturunkan Allah kepada seluruh umat manusia melalui manusia pilihan-Nya yaitu Nabi Muhammad SAW dengan perantara Malaikat Jibril, tidak dapat diklaim sebagai hasil manusia dalam hal ini oleh Nabi Muhammad. Alasannya antara lain :
-         Nabi Muhammad hanya sebagai Rasul seperti ditegaskan dalam ayat Alquran.
-         Nabi Muhammad memiliki keterbatasan pendidikan dalam hal ini beliau adalah seorang yang buta huruf. Tidak mungkin seorang yang buta huruf membaca literatur-literatur ilmiah pada waktu itu. Tetapi Nabi Muhammad memiliki kecerdasan otodidak seperti masyarakat Arab pada waktu itu umumnya memiliki kemampuan daya ingat yang cukup baik dan kuat.
-         Nabi Muhammad tidak mengenal alat-alat tehnologi yang dapat mendukung ilmu pengetahuan yang akan disampaikannya dalam Alquran.
-         Nabi Muhammad adalah seorang manusia biasa. Seandainya beliau seorang peramal atau ahli sihir sekalipun, pastilah ada kesalahan dalam tulisannya, ada kontradiksi antar ayat, tidak konsisten dan kesalahan manusia lainnya. Dan akan muncul Alquran versi Revisi akibat perbuatan dan kesalan manusia. Hanya dibutuhkan satu ayat saja untuk membuktikan bahwa Kebenaran Mutlak itu gugur oleh satu kesalahan (Prinsip Falsifabilitas).
Dari simpulan Gilamologi diatas, Gilamologi ingin menyatakan bahwa Tuhan (Allah SWT) ada secara Rasionalis dan Logis, serta bukti empiris dalam bentuk objek (benda) AlQuran dengan:
1.      Ada perbuatan yang dilakukan sesuatu yang “ada” tetapi materinya sebagai subjek tidak sama dengan materi yang ada didunia, dimana hasil perbuatannya (Objek Empiris) terbukti “ada” dan bukan hasil perbuatan manusia atau mahluk/materi apapun yang ada di alam semesta.
2.      Ada fenomena yang dilakukan oleh sesuatu yang “ada”  tetapi materinya tidak sama atau menyerupai dengan materi yang ada di alam semesta, yang memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh manusia atau memiliki sifat “MAHA” dan tidak mungkin dapat dilakukan oleh manusia. Tetapi pembuktiannya dapat dilakukan oleh Rasio dan logika manusia itu sendiri.
3.      Dua poin diataslah yang mendukung simpulan Gilamologi yang menyatakan bahwa satu simpulan (Simpulan ke-2) tentang keberadaan yang dianggap “tidak ada” sebenarnya sudah  “ada” sejak awalnya secara Rasionalis dan sudah DISEPAKATI oleh umat Islam (Muslim) yang disebut sebagai Allah SWT.
4.      Pembuktian secara Historis (Simpulan ke-3) untuk menghasilkan minimal dua simpulan (Simpulan ke-4) yang benar, serta pembuktian Alquran sebagai bukti Empiris (Simpulan Ke-1) akan dilakukan pada kajian dibawah ini nantinya. Dengan cara membandingkan hasil perbuatan sesuatu yang “Ada” yang tidak sama materinya dengan apapun yang ada di alam semesta, diperbandingkan dengan buklti-bukti ilmiah yang ditemukan oleh manusia itu sendiri yang memiliki akal budi. Hipotesis tehadap jejak-jejak atau hasil perbuatan-Nya (Objek hasil) umat Islam yakini sebagai ALQURAN. Ada dua hal yang akan dibuktikan untuk menerima Hipotesis tersebut :
a.         Karena memiliki sifat ke-“MAHA”-an, maka objek (hasil perbuatanya/AlQuran) tidak boleh mengandung kesalahan sedikit-pun seperti halnya objek-objek (hasil perbuatan) yang dilakukan/dihasilkan oleh manusia atau mahluk hidup yang ada di Alam Semesta yang banyak melakukan kesalahan.
b.         Keterangan terhadap sifat-sifat yang terdapat pada objek yang dapat dibuktikan merupakan hasil ke-Maha-an tersebut diatas, haruslah tidak memberikan keterangan hasil perbuatan dan sifat-sifat yang dimiliki oleh mahluk yang ada di alam semesta ini.
Artinya pula bahwa satu simpulan Gilamologi saja, sudah dapat dibuktikan secara Rasional dan logis tentang Keberadaan  Tuhan, maka Tuhan (Allah SWT) itu “Ada”. Satu simpulan saja benar sudah dapat dibuktikan, maka umat Islam yakin akan keberadaan Allah SWT. Pada tulisan berikutnya, Gilamologi akan mencari simpulan kedua yang akan membantu umat Islam untuk menemukan Keimanannya. Karena Dua simpulan Gilamologi Benar, maka umat Islam akan mencapai tingkatan Iman. Tulisan-tulisan berikutnya hanya membantu memperkuat umat Islam untuk dapat meyakini keberadaan Tuhannya dengan kesadaran Ihsan.
“Dan (ingatlah) suatu hari (ketika) Allah menghimpunkan mereka beserta apa yang mereka sembah selain Allah, lalu Allah berkata (kepada yang disembah); "Apakah kamu yang menyesatkan hamba-hamba-Ku itu, atau mereka sendirikah yang sesat dari jalan (yang benar)?". (Al Furqan 25;17)
 “Inikah Tanda-tanda Kebesaran (Keberadaan) Allah?”
Semoga Hidayah Kebenaran Islam dari Allah SWT selalu bersama Anda.
Dan jika ada kesalahan tulisan..itu kesalahan saya sebagai Manusia Biasa.
“Katakanlah: "Jika aku sesat maka sesungguhnya aku sesat atas kemudharatan diriku sendiri; dan jika aku mendapat petunjuk maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat". (Saba 34;50)
May Allah Bless Us/You (MABU)!!!

Bersambung Ke...JILID 22 Hal 148-154

Jumat, 18 Maret 2011

Simpulan Gilamologi (JILID 20 Hal 135-142)

Simpulan Gilamologi.

 Dari penjelasan jilid sebelumnya, Dapatkah keilmuan manusia membuktikan Ketidaknyataan Allah menjadi sebuah Kenyataan Empiris (walaupun tidak akan senyata zat yang ada di alam semesta sebagai subjek)? Atau minimal menunjukan tanda-tanda Kehadiran atau Keberadaan-Nya tersebut dengan ilmu pengetahuan manusia sekarang? Kalau Tidak bisa, Bukankah kaum Materialistis sedang menjatuhkan keyakinannya sendiri tentang ke-“Maha”an (men-Tuhan-kan) Ilmu Pengetahuan Manusia? Dimana sekarang Kecanggihan Tehnologi dan pencapaian kemajuan ilmu pengetahuan sudah sangat baik dan maju. Kalau bisa, mengapa kita tidak duduk bersama untuk menyepakati metode penelitian untuk melihat tanda-tanda kehadiran dan Kenyataan-Nya tersebut?
"Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur'an itu hanyalah menambah kerugian bagi orang-orang yang zalim." (Q.s. al-Isra': 82).
Sebuah pergolakan dan perdebatan pertanyaan yang nyata tentang keberadaan “Yang Satu” dari sejak jaman Filsuf bernama Parmenides  540 SM, dimana pemikiran filsafatnya bertentangan dengan Herakleitos sebab ia berpendapat bahwa segala sesuatu "yang ada" tidak berubah. Seperti yang saya kutip dari wikipedia :

“Inti utama dari "Jalan Kebenaran" adalah keyakinan bahwa "hanya 'yang ada' itu ada". Parmenides tidak mendefinisikan apa yang dimaksud "yang ada", namun menyebutkan sifat-sifatnya. Menurut Parmenides, "yang ada" itu bersifat meliputi segala sesuatu, tidak bergerak, tidak berubah, dan tidak terhancurkan. Selain itu, "yang ada" itu juga tidak tergoyahkan dan tidak dapat disangkal.
Menurut Parmenides, "yang ada" adalah kebenaran yang tidak mungkin disangkal. Bila ada yang menyangkalnya, maka ia akan jatuh pada kontradiksi. Hal itu dapat dijelaskan melalui pengandaian yang diberikan oleh Parmenides. Pertama, orang dapat mengatakan bahwa "yang ada" itu “tidak ada”. Kedua, orang dapat mengatakan bahwa "yang ada" dan "yang tidak ada" itu bersama-sama “ada”. Kedua pengandaian ini mustahil. Pengandaian pertama mustahil, sebab "yang tidak ada" tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibicarakan. "Yang tidak ada" tidak dapat dipikirkan dan dibicarakan. Pengandaian kedua merupakan pandangan dari Herakleitos. Pengandaian ini juga mustahil, sebab pengandaian kedua menerima pengandaian pertama, bahwa "yang tidak ada" itu ada, padahal pengandaian pertama terbukti mustahil. Dengan demikian, kesimpulannya adalah "Yang tidak ada" itu “tidak ada”, sehingga hanya "yang ada" yang dapat dikatakan “ada”.
Untuk lebih memahami pemikiran Parmenides, dapat digunakan contoh berikut ini. Misalnya saja, seseorang menyatakan "Tuhan itu tidak ada!" Di sini, Tuhan yang eksistensinya ditolak orang itu sebenarnya ada, maksudnya harus diterima sebagai dia "yang ada".Hal ini disebabkan bila orang itu mengatakan "Tuhan itu tidak ada", maka orang itu sudah terlebih dulu memikirkan suatu konsep tentang Tuhan. Barulah setelah itu, konsep Tuhan yang dipikirkan orang itu disanggah olehnya sendiri dengan menyatakan "Tuhan itu tidak ada". Dengan demikian, Tuhan sebagai yang dipikirkan oleh orang itu "ada" walaupun hanya di dalam pikirannya sendiri. Sedangkan penolakan terhadap sesuatu, pastilah mengandaikan bahwa sesuatu itu "ada" sehingga "yang tidak ada" itu tidaklah mungkin.  Oleh karena "yang ada" itu selalu dapat dikatakan dan dipikirkan, sebenarnya Parmenides menyamakan antara "yang ada" dengan pemikiran atau akal budi.
Setelah berargumentasi mengenai "yang ada" sebagai kebenaran, Parmenides juga menyatakan konsekuensi-konsekuensinya:
-          Pertama-tama, "yang ada" adalah satu dan tak terbagi, sedangkan pluralitas tidak mungkin. Hal ini dikarenakan tidak ada sesuatu pun yang dapat memisahkan "yang ada".
-          Kedua, "yang ada" tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan. Dengan kata lain, "yang ada" bersifat kekal dan tak terubahkan. Hal itu merupakan konsekuensi logis, sebab bila "yang ada" dapat berubah, maka "yang ada" dapat menjadi tidak ada atau "yang tidak ada" dapat menjadi ada.
-           Ketiga, harus dikatakan pula bahwa "yang ada" itu sempurna, seperti sebuah bola yang jaraknya dari pusat ke permukaan semuanya sama. Menurut Parmenides, "yang ada" itu bulat sehingga mengisi semua tempat.
-          Keempat, karena "yang ada" mengisi semua tempat, maka disimpulkan bahwa tidak ada ruang kosong. Jika ada ruang kosong, artinya menerima bahwa di luar "yang ada" masih ada sesuatu yang lain. Konsekuensi lainnya adalah gerak menjadi tidak mungkin sebab bila benda bergerak, sebab bila benda bergerak artinya benda menduduki tempat yang tadinya kosong.
Pemikiran Parmenides membuka babak baru dalam sejarah filsafat Yunani. Dapat dikatakan bahwa dialah penemu metafisika, cabang filsafat yang menyelidiki "yang ada". Filsafat di masa selanjutnya akan bergumul dengan masalah-masalah yang dikemukakan Parmenides, yakni bagaimana pemikiran atau rasio dicocokkan dengan data-data inderawi. Plato dan  Aristoteles adalah filsuf-filsuf yang memberikan pemecahan untuk masalah-masalah tersebut.

Parmenideslah yang mengungkapkan pertama kali teori Materialisme Empiris tentang keberadaan yang ada dan meniadakan yang tidak ada. Sebagai pembanding, bagaimana Heraklitos (540-480 SM) yang teorinya dibantah oleh Parmenides, seperti yang saya kutip dari wikipedia :
“Pemikiran Herakleitos yang paling terkenal adalah mengenai perubahan-perubahan di alam semesta. Menurut Herakleitos, tidak ada satu pun hal di alam semesta yang bersifat tetap atau permanen. Tidak ada sesuatu yang betul-betul ada, semuanya berada di dalam proses menjadi. Ia terkenal dengan ucapannya panta rhei kai uden menei yang berarti, "semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap." 
Perubahan yang tidak ada henti-hentinya itu dibayangkan Herakleitos dengan dua cara:
§         Pertama, seluruh kenyataan adalah seperti aliran sungai yang mengalir. "Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama," demikian kata Herakleitos. Maksudnya di sini, air sungai selalu bergerak sehingga tidak pernah seseorang turun di air sungai yang sama dengan yang sebelumnya.
§         Kedua, ia menggambarkan seluruh kenyataan dengan api. Maksud api di sini lain dengan konsep mazhab Miletos yang menjadikan air atau udara sebagai prinsip dasar segala sesuatu. Bagi Herakleitos, api bukanlah zat yang dapat menerangkan perubahan-perubahan segala sesuatu, melainkan melambangkan gerak perubahan itu sendiri. Api senantiasa mengubah apa saja yang dibakarnya menjadi abu dan asap, namun api tetaplah api yang sama. Karena itu, api cocok untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan
Segala sesuatu yang terus berubah di alam semesta dapat berjalan dengan teratur karena adanya logos. Pandangan tentang logos di sini tidak boleh disamakan begitu saja dengan konsep logos pada mazhab Stoa. Logos adalah rasio yang menjadi hukum yang menguasai segala-galanya dan menggerakkan segala sesuatu, termasuk manusia. Logos juga dipahami sebagai sesuatu yang material, namun sekaligus melampaui materi yang biasa. Hal ini disebabkan pada masa itu, belum ada filsuf yang mampu memisahkan antara yang rohani dan yang materi. Menurut Herakleitos, tiap benda terdiri dari yang berlawanan. Meskipun demikian, di dalam perlawanan tetap terdapat kesatuan. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa 'yang satu adalah banyak dan yang banyak adalah satu.'Anaximenes juga memiliki pandangan seperti ini, namun perbedaan dengan Herakleitos adalah Anaximenes mengatakan pertentangan tersebut sebagai ketidakadilan, sedangkan Herakleitos menyatakan bahwa pertentangan yang ada adalah prinsip keadilan. Kita tidak akan bisa mengenal apa itu 'siang' tanpa kita mengetahui apa itu 'malam'. Kita tidak akan mengetahui apa itu 'kehidupan' tanpa adanya realitas 'kematian'. Kesehatan juga dihargai karena ada penyakit. Demikianlah dari hubungan pertentangan seperti ini, segala sesuatu terjadi dan tersusun. Herakleitos menegaskan prinsip ini di dalam kalimat yang terkenal: "Perang adalah bapak segala sesuatu." Perang yang dimaksud di sini adalah pertentangan. Melalui ajaran tentang hal-hal yang bertentangan tetapi disatukan oleh logos, Herakleitos disebut sebagai filsuf dialektis yang pertama di dalam sejarah filsafat.”

Dari 2 Filsuf diatas, seolah-olah kedua Filsafat ini sangat mendukung kaum Atheis dalam menyimpulkan keagungan Filsafat Manusia. Padahal ilmu pengetahuan sekarang jelas menggugurkan teori Parmenides yang menyatakan bahwa “"yang ada" itu bersifat meliputi segala sesuatu, tidak bergerak, tidak berubah, dan tidak terhancurkan. Selain itu, "yang ada" itu juga tidak tergoyahkan dan tidak dapat disangkal. Jelas sebuah teori yang sudah gugur, misalnya jika setetes zat cair bensin kita simpan di ruang terbuka, maka zat itu akan luruh atau menguap. Artinya bahwa materi tidak ada yang bersifat tetap atau tidak terhancurkan. Gunung yang terlihat diam, sebenarnya bergerak. Teori atom menjelaskan bahwa didalam benda mati ada pergerakan. Meja kayu yang lama kelamaan akan lapuk juga dan besi mengalami karat. Mahluk hidup yang lama-kelaman tumbuh dan sebagainya yang tidak ada satupun materi yang bersifat tetap.
Kemudian Parmenides juga tidak meilhat bahwa yang “tidak ada” dapat menjadi “ada” pada saatnya dan yang “ada” menjadi “tidak ada”. Ada kelemahan pada teorinya Permeneides, ia mengabaikan konsep Waktu (past, present, future). Permeneides hanya melihat kondisi saat ini (present) tanpa mengkaitkan dengan masa lampau (past) dan masa yang akan datang (future). Contoh, dahulu kita “tidak ada” mengenal ilmu pengetahuan seperti sekarang ini, tetapi sekarang “ada”. Dahulu orang tidak mengenal (tidak ada) zat Uranium, sekarang “ada” (ditemukan). Sekarang ada zat yang belum ditemukan (tidak ada), mungkin masa depan akan ditemukan (ada).
Permeneides lupa dirinya yang “ada” dahulu, sekarang “tidak ada”. Tetapi mengapa kita sekarang masih dipercaya dia “ada”? Karena dia meninggalkan “jejak” bahwa dia “ada” dahulu kala (catatan pengetahuannya). Berapa banyak pengetahuan yang dahulu dianggap “ada”, sekarang  sudah “tidak ada” karena semakin lama manusia semakin cerdas dan pengetahuan tersebut dianggap sebagai dongeng belaka (dianggap tidak ada) atau sudah gugur atau karena tidak meninggalkan jejak..
Sedangkan konsep Herakleitos dan Anaximenes yang saling mendukung sekaligus bertentangan, sebenarnya sangat dan saling melengkapi bagi ajaran agama Islam. Perbedaannya Heraklitos dan Anaximenes dengan Islam hanyalah dalam menjelaskan Logos yang bukan berarti Tuhan, tetapi sebentuk Materi. Tetapi pengertian Logos dalam Islam berarti adalah Allah (Tuhan). Tetapi permasalahan pertentangan kedua Filsuf tersebut diselesaikan dan dijelaskan dalam konsep Keadilan dan keseimbangan dalam ajaran Islam. Bahwa segala sesuatu didunia ini selalu berpasangan. Ada damai ada perang, ada siang ada malam, ada positif ada negatif, ada laki-laki dan ada wanita, dan seterusnya, seperti yang dijelaskan dalam ayat Alquran yang menjelaskan konsep Dialektis dalam Islam:
"Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa-apa yang mereka tidak ketahui." [Yaa Siin 36:36]
Pengertian berpasangan ini dalam bukan hanya dalam pengertian pada benda hidup semata, tetapi partikel benda matipun berpasangan :
“Ilmuwan Inggris, Paul Dirac, yang menyatakan bahwa materi diciptakan secara berpasangan, dianugerahi Hadiah Nobel di bidang fisika pada tahun 1933. Penemuan ini, yang disebut "parité", menyatakan bahwa materi berpasangan dengan lawan jenisnya: anti-materi. Anti-materi memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengan materi. Misalnya, berbeda dengan materi, elektron anti-materi bermuatan positif, dan protonnya bermuatan negatif. Fakta ini dinyatakan dalam sebuah sumber ilmiah sebagaimana berikut:
"...setiap partikel memiliki anti-partikel dengan muatan yang berlawanan ... dan hubungan ketidakpastian mengatakan kepada kita bahwa penciptaan berpasangan dan pemusnahan berpasangan terjadi di dalam vakum di setiap saat, di setiap tempat."

Jadi “ada” atau “tidak ada” sesuatu dapat dianalisis dan disimpulkan dengan SIMPULAN Gilamologi bahwa:
1.      SIMPULAN 1 : “Ada” sebagai Subjek atau Objek dimana secara Empiris karena memang ada bentuk dan wujudnya (Material). Contohnya, saya bertemu atau bertatap muka langsung dengan si A dari milist ini, dan dia memperkenalkan namanya. Oleh sebab nama dan bentuk Material si A tersebut sesuai dengan kriteria bentuk, perbuatan dan sifat manusia, maka saya meyakini kebenarannya bahwa si A itu “ada” sebagai manusia. Teori Parmenides dan Thomas Hobbes saya sepakati untuk hal ini.
2.      SIMPULAN 2 : “Ada” secara Rasionalis/logis (tidak melihat bentuk materialnya) dari pengetahuan sifat yang membentuk dan mewujudkannya (Ide) ke-“ada”-an tersebut.  Contoh : Si A diatas saya belum pernah bertemu wujudnya. Tapi saya tahu (pengetahuan) bahwa si A wujudnya “ada” sebagai manusia, karena ide, sifat dan perbuatannya sebagai manusia, misalnya dia bisa menulis email, menjalankan komputer dan menuangkan ide/pemikirannya. Dan saya “tahu” bahwa satu-satunya mahluk di bumi yang memiliki “ide” (akal budi) adalah manusia. Dan saya tahu bahwa dengan pengetahuan saya tentang cara-cara si A tersebut sesuai dengan kriteria ide, perbuatan dan sifat manusia, maka saya yakin Si A wujudnya “ada” sebagai manusia. Ini adalah Rasionalitas dan logika saya terhadap keberadaan si A. sebagai sesuatu yang “Ada” karena kita pikirkan secara rasionalis dan logis (ide) bahwa itu “ada”, walaupun secara materi (kasat mata) saya tidak melihat “ada”. Dalam hal ini saya dukung teorinya Rene Decartes, “Dia berpikir, maka Dia ada”.
3.      SIMPULAN 3 : “Ada” secara Historis keberadaanya hanya dengan melihat “jejak-jejaknya” (objek atau hasil perbuatannya). Jejak-jejak itu dapat dilihat dari bukti-bukti Historis Empiris dan kebenarannya (Rasional dan logis). Contohnya : Si B menyampaikan kepada saya bahwa si A mau bertemu dengan saya, tetapi sayangnya dia sudah “tidak ada”. Kemudian si B menunjukan pada saya bukti-bukti historis bahwa si A itu menunjukan “ada” dari tulisan-tulisannya, sejarahnya dan hasil karyanya yang lain. Karena bukti-bukti historisnya dan objek perbuatannya tersebut seperti hasil perbuatan dan sifat manusia, maka saya “percaya” bahwa si A itu adalah “ada” dengan wujudnya sebagai manusia. Jika bukti historis itu ditunjukan sebagai sebuah sisa-sisa materi, perilaku dan sifat-sifat binatang, maka saya percaya bahwa si A adalah binatang. Jika bukti historis itu bukanlah perilaku atau sifat manusia dan binatang, maka saya percaya bahwa si A bukanlah manusia dan binatang. Jika bukti historis itu MELEBIHI (MAHA) perilaku atau sifat manusia dan binatang atau segala materi yang ada di alam semesta, maka saya percaya bahwa si A bukanlah manusia dan binatang atau zat/materi di alam semesta, melainkan logos atau Invisible Hand (Zat/materi yang tidak menyerupai zat/materi yang ada di alam semesta). Penguasa yang memiliki sifat dan perbuatan Yang Maha Tahu yang melebihi kemampuan mahluk yang paling cerdas.
4.      SIMPULAN 4 : “Ada” karena salah satu simpulannya benar dan bisa membenarkan keberadaan yang “tidak ada” itu “ada”, atau ada dua simpulan yang mendukung sehingga keberadaan yang “tidak ada” itu “ada”. Atau Ketiga-tiga Simpulannya dapat mendukung keberadaan yang “tidak ada” itu “ada”. Inilah simpulan Gilamologi yang mendukung teori Xenophanes, bahwa kita harus membedakan antara Kebenaran, Pengetahuan dan Kepercayaan tentang yang “Ada”. Bahwa dengan simpulan pertama saja yang benar, hanya bagi orang yang ingin melihat “kebenaran” yang “ada” (Materi). Simpulan Kedua saja yang benar hanya bagi orang yang punya “pengetahuan” yang “ada” (Rasional/Logis). Dengan simpulan Ketiga saja hanya bagi orang yang “percaya” bahwa yang “tidak ada” adalah “ada”. Menurut Gilamologi berdasarkan tingkat keimanan Islam, dengan satu simpulan benar maka manusia mencapai tingkat “Yakin”. Penemuan dua simpulan benar orang akan mencapai tingkat “Iman”. Dan terakhir menurut Gilamologi adalah, bila dengan penemuan 3 (semuanya) simpulan benar ini dapat tercapai oleh manusia, maka dia mencapai tingkatan “Ihsan”. Tingkatan Keimanan Islam akan dijelaskan kemudian.
Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat,” (Al Hajj 22;3)
“Inikah Tanda-tanda Kebesaran (Keberadaan) Allah?”
Semoga Hidayah Kebenaran Islam dari Allah SWT selalu bersama Anda.
Dan jika ada kesalahan tulisan..itu kesalahan saya sebagai Manusia Biasa.
“Katakanlah: "Jika aku sesat maka sesungguhnya aku sesat atas kemudharatan diriku sendiri; dan jika aku mendapat petunjuk maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat". (Saba 34;50)
May Allah Bless Us/You (MABU)!!!

Bersambung Ke...JILID 21 Hal 142-148