ARTIKEL GILAMOLOGI

Assalamulaikum Wr.Wb… اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

BERAT/MASSA MATERI (ZAT/SEL) ALAM SEMESTA SELALU SAMA?

(Gilamologi Sebuah Kajian Alternatif Filsafat Bebas)

By: Filsuf Gila

Bismillahhirohmanirohim… بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya,”

(Al Hajr 22;8)

"Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?"

(Al Anbiyaa 21;10)

“Ini lah (Qur’an) pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang sungguh-sungguh meyakininya."

(Al-Jathiya 45: 20)

“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”

(Injil 1 Tesalonika. 5:21)

“Segala yang kuperintahkan kepadamu haruslah kamu laku-kan dengan setia, janganlah engkau menambahinya ataupun menguranginya.” (Ulangan 12:32)

ISLAM AJARAN TAUHID

ISLAM AJARAN TAUHID
"Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (Al Ikhlas 112;1-4)

Jumat, 18 Maret 2011

Perdebatan Ada Dan Tiada - Pendekatan Matematis 1 (JILID 19 Hal 128-135)

Perdebatan Ada Dan Tiada (Pendekatan Matematis 1)

Nah, yang pertama adalah pendekatan matematika, dimana di dalam teori matematika ada Teori Takterhingga. Teori Takterhingga itu sendiri ada 2 jenis yaitu “Takterhingga Takterhitung” dan “Takterhingga Terhitung”. Nah yang dimaksud dengan Takterhingga Takterhitung adalah seperti sebuah pertanyaan matematis sederhana yang saya ajukan yaitu berapakah hasil angka 2 dibagi dengan angka 3? Atau secara matematis yaitu 2 : 3 = 0,66666666666666666…
Disini saya hendak bertanya pada anda, seberapa jauh anda dapat menuliskan angka desimalnya (angka 6 dibelakang koma)? Saya yakin sampai anda meninggalpun (umur manusia terbatas) tidak akan selesai menuliskannya. Jadi apa yang kita dapat kesimpulan dari hal perhitungan matematis yang Nyata tersebut?
Metode perhitungan matematis standar yang sudah disepakati kaum rasionalis (Ilmuwan) dan manusia adalah model penambahan, pengurangan, pengalian dan pembagian. Kita lihat bahwa angka 2 dan angka 3 itu angka rasional (menurut kaum rasionalis), tapi pada saat kita bagi (metode yang sudah disepakati) angka 2 tersebut dengan angka 3, maka timbulah hasil angka yang disepakati sebagai angka Takterhingga takterhitung. Didalam bahasa matematika, penyebutan kata “Takterhingga” (definisi) tersebut adalah untuk menyampaikan sesuatu yang tanpa batas dan abstrak (Tidak nyata). Berarti angka desimal takterhingga takterhitung tersebut tidak akan pernah NYATA selama tidak dijadikan menjadi takterhingga terhitung, agar dapat dimengerti manusia dan dilanjutkan perhitungan matematisnya. Dalam kalimat bahasa, saya ingin mengatakan hasil metode perhitungan matematis pembagian tersebut bahwa, Di dalam KENYATAAN dapat menghasilkan KETIDAKNYATAAN.
Kalau kita beri contoh lagi angka desimal takterhingga takterhitung adalah misalnya, apakah 0,99999… jika ditambahkan 0,0…1 (nol koma nol, nol, nol dst takterhingga yang diakhiri angka 1), apakah akan sama dengan 1? Atau kalau kita rumuskan matematisnya menjadi 0,99999…+ 0,0…1 = 1? Tentu saja TIDAK. Apakah hal ini dapat kita jawab dengan menggunakan Dialektika semata? Dimana kita dapat mengatakan bahwa KEKEKALAN dan KEABADIAN yang NYATA di dunia adalah PERUBAHAN. Dengan dialektika tersebut menyatakan bahwa secara Logika kita akan menutup diri kita dari KETIDAKNYATAAN. Padahal dialektika PERUBAHAN itu sendiri dapat diartikan sebuah proses dari KETIDAKNYATAAN menjadi KENYATAAN, atau sebaliknya.
Dialektika sering digunakan sebagai alat propapaganda dan sering kali mengalami Kesesatan Logika. Ataukah kita hanya menjawab sesuatu dengan Materialisme semata? Dimana kita tidak sadar bahwa Materi atau Kenyataan itu sendiri lahir dari Materi itu sendiri atau dengan KESEPAKATAN MANUSIA, bahkan ilusi optik. Ataukah hanya ingin mengandalkan Logika semata yang seringkali kita mengalami Distorsi Logika, kesalahan premis, kehilangan rumusan logika dan kesesatan logika juga. Atau mengandalkan Dialektika Historis tanpa buki empiris, dimana kemungkinan data historisnya juga belum diuji dan mungkin mengalami rekayasa sebelumnya atau masa sesudahnya, demi kepentingan tertentu.
Mengapa hal ini tidak dijawab dengan integrasi semua elemen-elemen Filsafat? Misalnya dengan Madilog (Tan Malaka) yang mengintegrasikan Materialisme, Dialektika dan Logika, serta ditambah dengan bukti historis yang teruji. Sebuah ilmu yang dikembangkan oleh bangsa Indonesia sendiri. Dimana Madilog berusaha meminimalkan distorsi dan kesesatan logika itu sendiri. Dimana masing-masing unsur diuji terlebih dahulu. Materialnya diuji KENYATAANNYA ataukah hasil KESEPAKATAN sehingga menjadi Nyata dan diungkapan dengan dialektika logika yang tepat, tidak semata dengan dialektika historis. Saya membaca buku-buku ideologi, tetapi tidak selalu setuju dengan ideologinya, saya hanya mengambil ilmu pengetahuannya.
Kembali ke perhitungan diatas, jadi selama desimal tak terhingga dari 0,66666… dan  0,999… tersebut diatas TIDAK DISEPAKATI atau dibuat TERHITUNG menjadi berapa desimal dibelakang koma, maka tidak akan pernah selesai perhitungannya, bukan? Misalnya kita SEPAKATI bahwa kita akan membatasi semua variabelnya menjadi 3 angka dibelakang koma, maka hasil perhitungan matematisnya akan menjadi 0,999 + 0,001 = 1.
Jadi kalau kita uraikan perhitungan/bahasa matematis kedalam bahasa kalimat akan menjadi kesimpulan bahwa  DI DALAM YANG NYATA DAPAT MENGHASILKAN KETIDAKNYATAAN. Atau dapat dikatakan pula bahwa jika KETIDAKNYATAAN tersebut TIDAK DISEPAKATI untuk menjadi KENYATAAN, maka itu akan tetap menjadi KETIDAKNYATAAN. Tetapi pada saat kita SEPAKATI bahwa KETIDAKNYATAAN ini kita SEPAKATI sebagai suatu KENYATAAN, maka itu akan menjadi KENYATAAN.
Sampai titik sini saja, saya dapat mengatakan bahwa Tuhan sebagai Zat yang tidak NYATA, jika kita sepakati untuk menjadi TIDAK NYATA seperti perhitungan matematis diatas, maka akan tetap menjadi KETIDAKNYATAAN. Tetapi jika ada tanda-tanda yang dapat menyatakan bahwa ada tanda-tanda KENYATAAN dalam KETIDAKNYATAAN, Mengapa hal ini tidak kita sepakati untuk menjadi KENYATAAN?
AlQuran kembali memberikan tanda-tanda :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (pena), Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu).” (Al alaq 96;1-8)
Apa yang bisa dilakukan oleh manusia yang memiliki keterbatasan? Yah kita akan mendekati Takterhingga takterhitung tersebut dengan sebuah metode PENDEKATAN. Metode Pendekatan yang bertujuan untuk EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI kehidupan dan keterbatasan manusia itu sendiri. Karena selama pendekatan itu tidak dilakukan, maka efiensi dan efektifitas manusia tersebut tidak akan terpenuhi. Pendekatan itu tentunya akan disesuaikan dengan KEBUTUHAN, PILIHAN, PRIORITAS,  RUANG dan WAKTU, serta KESEPAKATAN manusia itu sendiri. Pada saat kesepakatan itu disepakati, maka takterhingga takterhitung (Ketidaknyataan) tersebut dapat dinyatakan menjadi takterhingga terhitung (Kenyataan). 
Sekarang bagaimana dengan pertanyaan saya yang kedua yaitu, bagaimana jika angka 2 tadi kita kurangi dengan angka 3,  atau 2 - 3 = (-) 1. Nah pertanyaannya adalah, apa yang dimaksud NEGATIF 1?  Mengapa hasilnya tidak dibuat bahwa 2 – 3 = 0, karena angka 2 sudah habis terlebih dahulu?  Bagaimana jika pertanyaan ini diajukan pada jaman Romawi Kuno yang tidak mengenal angka Nol (0)? Apakah yang dimaksud negatif (-)1 = 1? Tentu saja saja TIDAK kan? NEGATIF itu sendiri menunjukan atau alat bantu pendekatan angka 1 setelah tanda negatif yang TIDAK NYATA TERSEBUT, yang berusaha untuk di-NYATAKAN, agar perhitungannya menjadi NYATA secara matematis dan dapat dimengerti, serta dilanjutkan perhitungannya.  Jadi simbol Negatif tersebut adalah mewakili KETIDAKNYATAAN atau simbol untuk MERASIONALITASKAN KETIDAKNYATAAN. Artinya angka -1 dalam perhitungan matematis tersebut adalah KETIDAKNYATAAN DALAM KENYATAAN sesuai kesepakatan agar terlihat dan dapat terhitung secara matematis., atau sebaliknya. Karena angka yang diawali simbol negatif selalu LEBIH KECIL daripada NOL (0) dalam perhitungan matematis. Padahal angka Nol (0) sendiri sudah mewakili KETIDAKNYATAAN. Darimana angka nol ini muncul, adalah hasil penemuan bangsa Arab pasca Islam.
Kemudian sekarang bagaimana kalau saya memberikan perhitungan matematis dengan perhitungan: (-) 1 x (-) 1 = +1. Pertanyaan saya sekarang adalah, Mengapa negatif 1 dikalikan negatif 1 = positif 1 ? Atau dalam kalimat bahasanya adalah, Mengapa KETIDAKNYATAAN dikalikan KETIDAKNYATAAN bisa menghasilkan KENYATAAN? Masalah ini sebenarnya adalah sudah menjawab pertanyaan dari kaum Filsafat Materialistis sendiri tentang pertanyaan, Mana mungkin KETIDAKNYATAAN dapat menghasilkan KENYATAAN? Dan mereka sebenarnya sudah menjawab dengan ilmu pengetahuan rasional dan empirisnya mereka sendiri bukan? Dan jika mereka tidak percaya dengan hal ini, mengapa asumsi MERASIONALITASKAN KETIDAKNYATAAN masih mereka pakai?
Dari sini saja saya sekarang sudah dapat merancang sebuah Hipotesis bahwa, MERASIONALITASKAN KETIDAKNYATAAN menjadi KENYATAAN adalah hasil KESEPAKATAN dan PENDEKATAN MANUSIA, dimana KETIDAKNYATAAN tersebut harus menunjukan tanda-tanda yang dimengerti dan dipahami oleh manusia secara empiris.
Nah yang terakhir adalah, bagaimana jika saya katakan bahwa 2 + 3 = 5 adalah sebuah kepastian yang empiris dan rasional secara ilmu pengetahuan (matematis)? Para Filsafat Materialistis akan setuju dengan saya, bahwa itu adalah ilmu Pasti (matematika) dan sangat Rasional. Tetapi pada saat saya ajukan bahwa apakah 2 Ayam + 3 Telur = 5 Ayam? Atau hasilnya 5 Telur? Atau hasilnya  kita katakan sebagai 5 Ayam dan Telur? Ataukah anda mau menjawab lagi bahwa hasilnya adalah 2 Ayam dan 3 telur? Ataukah anda punya jawaban lain?
Kalau kita bedah dengan aljabar, dimana a dan  b adalah variabel zat berbeda, maka rumusan aljabarnya adalah : a + b = b + a, a + b tidak sama dengan ab (a+b#ab). Variabel a dan b adalah variabel zat. Jadi kalau kita masukan misal variabel a = ayam dan b = telur, dan jumlah ayam = 2 dan telur = 3, maka berdasarkan aljabar akan didapatkan perhitungan: 2 ayam + 3 telur = 3 telur + 2 ayam. Jika kita ingin mendapatkan hasil dari variabel yang sama, maka kita harus SEPAKATI dulu bahwa ASUMSI variabel adalah sama jenisnya, artinya variabel a dan b = ayam atau a = b = ayam atau a dan b = telur atau a = b = telur , maka 2a + 3b = 2 ayam + 3 ayam = 5 ayam atau maka 2a + 3b = 2 telur + 3 telur = 5 telur.
Dari gambaran diatas saja, saya bisa menggambarkan kelemahan dari Filsafat Materialistis yang mengagung-agungkan kenyataan. Mereka lupa bahwa angka adalah angka. Variabel disamping angka selalu di Asumsikan. Angka adalah HASIL KESEPAKATAN MANUSIA dari KETIDAKNYATAAN untuk didekati menjadi KENYATAAN. Kemudian Angka tidak dapat secara serta merta direkatkan dengan variabel zat  (KENYATAAN) pada perhitungan matematis yang menurut mereka adalah pasti dan rasional. Karena Angka secara Filsafat adalah KETIDAKNYATAAN yang disepakati untuk jadi UKURAN KENYATAAN. Oleh sebab itulah maka pada saat hendak direkatkan dengan zat yang nyata, maka harus disepakati dan diasumsikan terlebih dahulu variabelnya. Misalnya: asumsi variabelnya a dan b adalah manusia. Maka 2 manusia + 3 manusia = 5 manusia. Masuk diakal kan? Darimana Matematika Aljabar ini ditemukan? Dari Pemikir bangsa Arab Pasca Islam.
Apakah benar bahwa matematika adalah sebuah ketidaknyataan tapi terasa nyata? Mari kita lihat apa yang disampaikan oleh ilmuwan Matematika (wikipedia) :
“Beberapa orang pemikir memandang matematikawan sebagai ilmuwan, dengan anggapan bahwa pembuktian-pembuktian matematis setara dengan percobaan. Sebagian yang lainnya tidak menganggap matematika sebagai ilmu, sebab tidak memerlukan uji-uji eksperimental pada teori dan hipotesisnya. Namun, dibalik kedua anggapan itu, kenyataan pentingnya matematika sebagai alat yang sangat berguna untuk menggambarkan/menjelaskan alam semesta telah menjadi isu utama bagi filsafat matematika. Filsafat matematika adalah cabang dari filsafat yang mengkaji anggapan-anggapan filsafat, dasar-dasar, dan dampak-dampak matematika. Tujuan dari filsafat matematika adalah untuk memberikan rekaman sifat dan metodologi matematika dan untuk memahami kedudukan matematika di dalam kehidupan manusia. Sifat logis dan terstruktur dari matematika itu sendiri membuat pengkajian ini meluas dan unik di antara mitra-mitra bahasan filsafat lainnya.
Richard Feynman berkata, "Matematika itu tidak nyata, tapi terasa nyata. Di manakah tempatnya berada?", sedangkan Bertrand Russell sangat senang mendefinisikan matematika sebagai "subjek yang kita tidak pernah tahu apa yang sedang kita bicarakan, dan kita tidak tahu pula kebenarannya."

Apakah dengan pemikiran Filsafat saya dapat mempertanyakan Matematika ini, Apakah sebagai sebuah metodologi Logis (Rasio) atau sebagai metodologi Empiris (Materialis)? Pertanyaan manusia yang tidak pernah akan ada habisnya. Allah sudah memberikan tanda-tanda ini dalam ayat Al-Quran :
“Dialah yang menjadikan Matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat/tempat) bagi perjalanannya, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui” (Yunus 10;5)
Dari ayat diatas dijelaskan bahwa Kitab Suci AlQuran memberikan tanda-tanda kepada manusia, bahwa manusia dengan kemampuannya dapat membuat bilangan-bilangan dan perhitungannya (Matematika).
Kemudian ditegaskan lagi kepada manusia tentang ilmu bilangan :
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil, dan malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal.” (Al Fajr 89; 1-5)
Alquran sudah memberikan informasi pengetahuan pada manusia, bahwa ada Hukum bilangan genap dan bilangan ganjil.
Perhitungan matematis yang paling rasional-pun memiliki keterbatasan variabel. Para pengikut dan pendukung Filsafat Materialistis lupa bahwa dalam MERASIONALKAN DAN MENYATAKAN sesuatu dengan ilmu pengetahuan, mereka juga selalu harus menggunakan variabel dengan kaidah-kaidah PENDEKATAN, PENGABAIAN, ASUMSI  dan lain sebagainya dengan tujuan efektifitas dan efisiensi perhitungan agar menjadi logis dan terbukti secara empiris. Kaidah-kaidah ini mereka pakai untuk mengeliminir dan distorsi terbatasnya Logika dan Indra manusia. Filsuf Materialistis selalu terjebak dalam pertanyaan, berapakah variabel yang anda pakai untuk menjelaskan hal itu? Bagaimana me-NYATA-kan hal itu? Pada suatu sisi mereka meminta pembuktian Ketidaknyataan yang takterhingga, tetapi disisi lain mereka dibatasi, membatasi atau terbatasi oleh variabel pembuktiannya sendiri seolah-olah menjadi terhingga terhitung (Kenyataan).
Oleh sebab itulah maka manusia perlu belajar dan sekolah terus sampai jenjang tertinggi dengan tujuan utamanya adalah untuk MEMPERLUAS, MEMPERBANYAK dan MEMPERDALAM VARIABEL. Akibat pendidikanlah maka akal budi manusia berkembang seperti sekarang ini. Karena semakin tinggi ilmu seseorang biasanya semakin spesifik bidangnya, tetapi semakin luas variabelnya dalam memandang suatu permasalahan dan membuat banyak hal-hal ketidaknyataan menjadi kenyataan. Tetapi dalam keilmuan juga tidak mengenal KAIDAH KACAMATA KUDA. Kaidah Kacamata Kuda adalah kaidah-kaidah yang didasarkan atas Doktrin, Dogma atau propaganda golongan tertentu, seperti teori kaum Rasionalis. Atau memasukan logika/filsafat Ketuhanan (ayat-ayat Kitab Suci yang belum teruji Kebenaran Mutlaknya) sebanyak mungkin sehingga SEOLAH-OLAH tulisan tersebut menjadi ilmiah atau mengandung kebenaran.  Bagaimanapun juga dalam memahami ilmu pengetahuan harus dapat MENDEKATI tingkat kepastian, rasional, logis dan sistimatis dengan pendekatan kaidah-kaidah keilmuan (metode) yang tepat.
Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”(An Najm 53;30)
“Inikah Tanda-tanda Kebesaran (Keberadaan) Allah?”
Semoga Hidayah Kebenaran Islam dari Allah SWT selalu bersama Anda.
Dan jika ada kesalahan tulisan..itu kesalahan saya sebagai Manusia Biasa.
“Katakanlah: "Jika aku sesat maka sesungguhnya aku sesat atas kemudharatan diriku sendiri; dan jika aku mendapat petunjuk maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat". (Saba 34;50)
May Allah Bless Us/You (MABU)!!!

Bersambung Ke...JILID 20 Hal : 135-142

Tidak ada komentar:

Posting Komentar