ARTIKEL GILAMOLOGI

Assalamulaikum Wr.Wb… اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

BERAT/MASSA MATERI (ZAT/SEL) ALAM SEMESTA SELALU SAMA?

(Gilamologi Sebuah Kajian Alternatif Filsafat Bebas)

By: Filsuf Gila

Bismillahhirohmanirohim… بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya,”

(Al Hajr 22;8)

"Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?"

(Al Anbiyaa 21;10)

“Ini lah (Qur’an) pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang sungguh-sungguh meyakininya."

(Al-Jathiya 45: 20)

“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”

(Injil 1 Tesalonika. 5:21)

“Segala yang kuperintahkan kepadamu haruslah kamu laku-kan dengan setia, janganlah engkau menambahinya ataupun menguranginya.” (Ulangan 12:32)

ISLAM AJARAN TAUHID

ISLAM AJARAN TAUHID
"Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (Al Ikhlas 112;1-4)

Rabu, 16 Maret 2011

Perdebatan Ada Dan Tiada - Pendekatan Matematis dan Eksperimen (JILID 18 Hal 121-128)

Perdebatan Ada Dan Tiada (Pendekatan Matematis dan Eksperimen)

Dari penjelasan sebelumnya saya mencoba membatasi penelitian Filsafat itu sendiri dari permasalahan METODE BERPIKIR atau LOGIKAnya saja. Walaupun pada akhirnya saya harus sedikit keluar untuk memperdalam logikanya itu sendiri, saya juga harus menyinggung masalah estetika, metafisika, dialektika, historis dan materialistis, tapi tetap mengikuti kaidah epistemologinya.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas,  perdebatan manusia ditemukan 2 pendekatan besar yang berbeda dalam Filsafat Manusia yaitu pendekatan “IDEALIS” = PIKIRAN/ABSTRAK/MISTIS/GAIB, yaitu Filsafat Manusia yang masih dipengaruhi oleh Filsafat Ketuhanan (logika Ketuhanan), dan pendekatan “MATERIALISTIS” = KEBENDAAN/NYATA, yaitu Filsafat Manusia yang murni menggunakan logika dan indra manusia. 
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (An Nahl 16;64)
Filsafat Manusia sendiri dalam sudut pandang kaum Muslim dibedakan tingkatannya sebagai Syariat, Tarekat, Hakekat/Hakikat dan Marifat (nanti akan dijelaskan dalam subbab tersendiri). Seperti yang dijelaskan dalam wikipedia :
“Syari'at dalam perspektif faham tasawuf ada yang menggambarkannya dalam bagan Empat Tingkatan Spiritual Umum dalam Islam, syariat, tariqah atau tarekat,  hakikat. Tingkatan keempat, ma'rifat, yang 'tak terlihat', sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari kempat tingkatan spiritual tersebut.
Sebuah tingkatan menjadi fondasi bagi tingkatan selanjutnya, maka mustahil mencapai tingkatan berikutnya dengan meninggalkan tingkatan sebelumnya. Sebagai contoh, jika seseorang telah mulai masuk ke tingkatan (kedalaman beragama) tarekat, hal ini tidak berarti bahwa ia bisa meninggalkan syari'at. Yang mulai memahami hakikat, maka ia tetap melaksanakan hukum-hukum maupun ketentuan syariat dan tarekat.”

Tingkatan Syariat lebih menekankan pada perintah, pahala dan ancaman Kitab Suci. Tingkatan Tarekat pada pemikiran teknis pelaksanaan (tata cara) manusia untuk mencapai kesempurnaan dalam menjalankan kehidupan manusianya dengan acuan Logika Ketuhanan. Pada tingkatan Syariat dan Tarekat inilah kaum Muslim yang beraliran Filsafat Materialis bercokol. Apa yang terlihat, tertulis dan apa yang dikatakan pemimpinnya itulah yang akan mereka lakukan.
Tingkatan Hakekat lebih menitikberatkan pada hukum-hukum pemahaman syariat logika Ketuhanan. Sedangkan Marifat sendiri adalah tingkatan tertinggi dalam filsafat Idealis Islam yang menitikberatkan pada pendalaman Akidah/ajaran Tauhid manusia dan Nilai tambah dari Logika Ketuhanan itu sendiri.  Tingkatan Marifat sudah lebih dekat pada Filsafat Ketuhanan. Artinya dalam memperdalam agama (menambah Keimanan dan Ketaqwaan), khususnya Islam, tidak dapat hanya sekedar diperbincangkan masalah dosa atau tidak berdosa, surga dan neraka, pahala dan tidak dapat pahala dan seterusnya. Hal itu dibahas dalam tingkatan syariat/khilafiyah dan tarekat semata. Tetapi Islam dengan Kitab Suci AlQurannya dapat ditelaah dan menelaah lebih jauh tentang kehidupan manusia, baik dari sisi Hakikat maupun Marifatnya. Dari sisi Ilmu Pengetahuan manusia, AlQuran adalah sumber ilmu pengetahuan dan sumber dari ilmu Filsafat Islam. Dari ilmu Filsafat Islam inilah banyak melahirkan landasan ilmu pengetahuan modern seperti aljabar, astronomi, ilmu kesehatan/kedokteran dan lain sebagainya.
Perbedaan dan penggolongan pendekatan filsafat manusia antara Idealis dan Materialistis ini muncul disebabkan pertanyaan dan perdebatan, Apakah sebuah benda muncul karena adanya “PIKIRAN/ROH” akan diciptakan benda tersebut, ataukah sebuah “PIKIRAN/ROH” timbul disebabkan karena adanya kenyataan benda itu sendiri sebelumnya? Pertanyaan atau perdebatan yang sangat kritis, logis dan rasional sekaligus menunjukan kesombongan manusia akan akal budinya. Akal budi yang seharusnya menuntun pada kebijaksanaan dan keimanan, bukan pada eksistensi  dan arogansi ke-Manusiannya semata dengan meniadakan Penciptanya dan menyetarakanNya.
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?".(Al-I Imran 3;79-80)
Pada masa perkembangan awal filsafat, para ahli Filsasat mempertanyakan hal diatas dengan pemahaman Ideal = Roh = Jiwa dan Material = Benda = Zat/Sel. Sehingga pertanyaan itu berkembang menjadi, apakah Roh yang membuat benda itu ada atau benda yang mengakibatkan Roh itu ada?
Permulaan perdebatan ini dalam sejarah tertulis sejak mazhab Miletos pada abad ke 6 SM. Pelopornya adalah Thales dan murid-muridnya Anaximandros dan Anaximenes. Didalam wikipedia:
“Thales menyatakan bahwa air adalah prinsip dasar (dalam bahasa Yunani arche) segala sesuatu. Air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari segala-galanya yang ada di alam semesta. Berkat kekuatan dan daya kreatifnya sendiri, tanpa ada sebab-sebab di luar dirinya, air mampu tampil dalam segala bentuk, bersifat mantap, dan tak terbinasakan. Argumentasi Thales terhadap pandangan tersebut adalah bagaimana bahan makanan semua makhluk hidup mengandung air dan bagaimana semua makhluk hidup juga memerlukan air untuk hidup. Selain itu, air adalah zat yang dapat berubah-ubah bentuk (padat, cair, dan gas) tanpa menjadi berkurang.
Selain itu, ia juga mengemukakan pandangan bahwa bumi terletak di atas air. Bumi dipandang sebagai bahan yang satu kali keluar dari laut dan kemudian terapung-apung di atasnya.
Thales berpendapat bahwa segala sesuatu di jagat raya memiliki jiwa. Jiwa tidak hanya terdapat di dalam benda hidup tetapi juga benda mati. Teori tentang materi yang berjiwa ini disebut hylezoisme. Argumentasi Thales didasarkan pada magnet yang dikatakan memiliki jiwa karena mampu menggerakkan besi.”

Pendapat Thales dibantah oleh muridnya sendiri Anaximandros dengan Teori Apeiron (sudah dijelaskan sebelumnya diatas). Anaximandros mendapat dukungan dari murid Thales lainnya yaitu Anaximenes (545-526 SM). Walaupun dukungan itu tidak seratus persen, seperti yang saya kutip dari wikipedia :
"Salah satu kesulitan untuk menerima filsafat Anaximandros tentang to apeiron yang metafisik adalah bagaimana menjelaskan hubungan saling mempengaruhi antara yang metafisik dengan yang fisik. Karena itulah, Anaximenes tidak lagi melihat sesuatu yang metafisik sebagai prinsip dasar segala sesuatu, melainkan kembali pada zat yang bersifat fisik yakni udara.
Tidak seperti air yang tidak terdapat di api (pemikiran Thales), udara merupakan zat yang terdapat di dalam semua hal, baik air, api, manusia, maupun segala sesuatu. Karena itu, Anaximenes berpendapat bahwa udara adalah prinsip dasar segala sesuatu. Udara adalah zat yang menyebabkan seluruh benda muncul, telah muncul, atau akan muncul sebagai bentuk lain. Perubahan-perubahan tersebut berproses dengan prinsip "pemadatan dan pengenceran" (condensation and rarefaction. Bila udara bertambah kepadatannya maka muncullah berturut-turut angin, air, tanah, dan kemudian batu Sebaliknya, bila udara mengalami pengenceran, maka yang timbul adalah api. Proses pemadatan dan pengenceran tersebut meliputi seluruh kejadian alam, sebagaimana air dapat berubah menjadi es dan uap, dan bagaimana seluruh substansi lain dibentuk dari kombinasi perubahan udara.
Pembentukan alam semesta menurut Anaximenes adalah dari proses pemadatan dan pengenceran udara yang membentuk air, tanah, batu, dan sebagainya Bumi, menurut Anaximenes, berbentuk datar, luas, dan tipis, hampir seperti sebuah meja. Bumi dikatakan melayang di udara sebagaimana daun melayang di udara. Benda-benda langit seperti bulan, bintang, dan matahari juga melayang di udara dan mengelilingi bumi. Benda-benda langit tersebut merupakan api yang berada di langit, yang muncul karena pernapasan basah dari bumi. Bintang-bintang tidak memproduksi panas karena jaraknya yang jauh dari bumi. Ketika bintang, bulan, dan matahari tidak terlihat pada waktu malam, itu disebabkan mereka tersembunyi di belakang bagian-bagian tinggi dari bumi ketika mereka mengitari bumi. Kemudian awan-awan, hujan, salju, dan fenomena alam lainnya terjadi karena pemadatan udara.
Jiwa manusia dipandang sebagai kumpulan udara saja. Buktinya, manusia perlu bernafas untuk mempertahankan hidupnya. Jiwa adalah yang mengontrol tubuh dan menjaga segala sesuatu pada tubuh manusia bergerak sesuai dengan yang seharusnya. Karena itu, untuk menjaga kelangsungan jiwa dan tubuh. Di sini, Anaximenes mengemukakan persamaan antara tubuh manusiawi dengan jagat raya berdasarkan kesatuan prinsip dasar yang sama, yakni udara. Tema tubuh sebagai mikrokosmos (jagat raya kecil) yang mencerminkan jagat raya sebagai makrokosmos adalah tema yang akan sering dibicarakan di dalam Filsafat Yunani. Akan tetapi, Anaximenes belum menggunakan istilah-istilah tersebut di dalam pemikiran filsafatnya."

Perdebatan ini terus menghangat sampai munculnya Mazhab Elea yang dipelopori oleh Xenophanes (570-480 SM). Xenophanes adalah guru dari Parmenides. Dalam Wikipedia Xenophanes menjelaskan :
“Xenophanes menyatakan bahwa manusia tidak dapat mendapatkan pengetahuan yang mutlak. Akan tetapi, di saat yang sama, manusia harus mencari pengetahuan tersebut walaupun hanya berupa suatu kemungkinan. Hal itu ditunjukkannya melalui dua fragmen berikut:
"Dewa-dewi tidak menyatakan segala sesuatu kepada manusia sejak awalnya, tetapi setelah waktu berlalu, manusia menemukan banyak hal dengan cara mencarinya sendiri."(fragmen 18)
"Tidak ada manusia yang pernah melihat ataupun mengetahui kebenaran tentang dewa-dewi serta semua hal yang kukatakan. Karena jika ada orang yang berkata mengetahui semuanya, maka sebenarnya ia tidaklah tahu, melainkan hanya mempercayai tentang segala sesuatu."(fragmen 34)
Fragmen 18 menunjukkan kemungkinan mencari pengetahuan melalui penelitian. Sedangkan fragmen 34 menolak kemungkinan manusia mendapatkan pengetahuan yang mutlak, setidaknya untuk hal-hal yang menurut Xenophanes sulit. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara kebenaran, pengetahuan, dan kepercayaan.
Xenophanes menentang cara pandang orang Yunani pada waktu itu terhadap dewa-dewi. Ia memberikan kritik terutama kepada Herodotos dan Hesiodos yang memberikan pengaruh besar terhadap masyarakat Yunani. Menurut kedua penyair itu, dewa-dewi melakukan pelbagai perbuatan yang memalukan, seperti pencurian, zinah, dan penipuan satu sama lain. Di sini, Xenophanes membantah antropomorfisme dewa-dewi, maksudnya penggambaran dewa-dewi dalam rupa manusia. Menurut Xenophanes, manusia selalu menaruh sifat-sifat manusia kepada dewa-dewi sesuai kehendak mereka. Misalnya saja, dewa-dewi dilahirkan sebab manusia juga dilahirkan, dan bahwa dewa-dewi memakai pakaian, suara, dan rupa seperti manusia. Xenophanes memberikan argumentasi sesuai bukti yang ia temukan:
"Seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar seperti manusia, tentunya kuda akan menggambarkan dewa-dewi menyerupai kuda, sapi akan menggambarkan dewa-dewi menyerupai sapi, dan dengan demikian mereka akan menggambarkan tubuh dewa-dewi serupa dengan tubuh mereka." "Orang Etiopia mempunyai dewa-dewi yang berkulit hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang-orang Thrake mengatakan bahwa dewa-dewi mereka bermata biru dan berambut merah."
Xenophanes dapat menyimpulkan bahwa antropomorfisme terhadap dewa-dewi tidaklah tepat sebab ia telah melakukan perjalanan ke berbagai tempat dan melihat pelbagai kepercayaan mereka. Karena itu, ia menjadi yakin bahwa semua itu bukanlah konsep dewa-dewi yang tepat. Ia menyatakan bahwa sebenarnya hanya ada "Satu yang meliputi Semua". Maksudnya di sini serupa dengan konsep "Tuhan" namun tidak sama dengan monoteisme sebab ia juga menyebutnya dalam bentuk jamak.
Menurut Xenophanes, "yang Satu meliputi Semua" ini tidak dilahirkan dan tidak memiliki akhir, artinya bersifat kekal. Hal ini berbeda dengan konsep dewa-dewi yang dilahirkan dan dapat mati. Ia tidak menyerupai makhluk duniawi mana pun, baik manusia ataupun binatang. Ia juga tidak memiliki organ seperti manusia, namun mampu melihat, berpikir, dan mendengar. Ia juga senantiasa menetap di tempat yang sama namun menguasai segala sesuatu dengan pikirannya saja.
Xenophanes berpendapat bahwa matahari berjalan terus dengan gerak lurus, dan setiap pagi terbitlah matahari baru. Gerhana disebabkan matahari jatuh ke dalam lubang. Ia juga memandang bintang-bintang sebagai awan-awan yang berapi sehingga bersinar ketika malam. Sinar itu seperti batu bara yang memerah dan ketika pagi hari api dari awan itu padam kembali. Segala sesuatu dipandang berasal dari bumi, dan bumi pula yang menjadi tujuan akhir segala sesuatu. Manusia berasal dari bumi dan air. Sedangkan laut adalah sumber dari segala air dan juga angin. Samudra yang luas menghasilkan awan-awan, angin, dan juga sungai-sungai. Pelangi dipandang sebagai awan yang berwarna-warni.
Kemudian bumi berada dalam proses peredaran terus-menerus. Tanah menjadi lumpur, lalu menjadi air laut. Sebaliknya, laut menjadi lumpur, lalu menjadi tanah. Untuk membuktikan teori ini, Xenophanes menunjukkan bahan bukti empiris, yakni fosil-fosil kerang laut. Fosil-fosil tersebut berada dalam batu. Hal itu menunjukkan bahwa dulu batu tersebut merupakan lumpur.”

Sampai sekarang perdebatan itu belum berakhir. Saling berpengaruh dan saling menguasai satu sama lainnya. Pencarian fenomena Ketuhanan Barat yang tidak memiliki akhir, karena Ego manusia. Ego manusia mengatasnamakan Kesadaran Tertinggi manusia. Ada hal menarik dari Pernyataan-pernyataan Filsuf pada zaman dahulu. Terlihat sekali bahwa pendalaman diri sendirinya begitu kuat. Di satu sisi Kesadaran akibat perenungan dan diskusi Filsafat mereka  menghasilkan banyak kebenaran, tetapi di satu sisi juga mengandung Kesalahan. Itulah sejatinya Logika Manusia sebagai pengusung Kebenaran Relatif. Ada beberapa kalimat yang hampir mirip (Plagiat) antara Manuscript  (catatan) para filsuf dengan apa yang disampaikan dalam AlKitab Injil, nanti akan saya bahas.
Pertentangan antara penganut Filsafat Materialistis dengan penganut Filsafat Materialistis lainnya adalah (konon ini adalah pertanyaan tertua juga) yang mempertanyakan, lebih dahulu mana “Induk Ayam” dengan “Telur”?
Pertanyaan diatas ternyata sudah terjawab oleh AlQuran itu sendiri. Ada sumbangan pemikiran untuk Gilamologi dari seseorang dari Milist bernama Syafa, Hidayahnya menunjukan ada ayat yang berbunyi:
“Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)". (Al-I Imran 3;27)
Sebuah ayat yang begitu dalam yang menunjukan tanda-tanda keberadaan Tuhan. Sebuah jawaban dari pertanyaan “yang mati menjadi hidup (ayam) dan dari hidup menjadi mati (telur)”, dengan perumpamaan “malam dimasukan pada siang dan siang dimasukan pada malam”. Sebuah ayat yang menambahkan pertanyaan kaum Filsuf Materialistis yaitu, Lebih dahulu mana Malam atau Siang pada penciptaan alam semesta ini? Mengapa manusia yang berpijak dibumi akan mengalami masalah siang dan malam? Mengapa manusia yang berada di angkasa luar tidak mengalami siang dan malam? Apakah adanya perbedaan ruang sehingga menjadikan dua kondisi menjadi satu kondisi? Mengapa Saya yakin Filsuf Materialistis hanya mengejar pertanyaan yang berkaitan dengan kebendaan (Materilaistis) dikaitkan dengan roh itu sendiri. Bagaimana yang menyangkut pergantian kondisi alam (siang dan malam) yang kita alami sampai saat ini sehari-hari?
Tetapi saya akan mencoba menjawab pertanyaan yang pertama. Karena perdebatan ini terus berlangsung dimana Para Filsafat Materialistis selalu ngotot dengan pertanyaan, bagaimana menjelaskan secara logis/rasional KETIDAKNYATAAN dapat menghasilkan KENYATAAN, atau sebaliknya? Sedangkan perkembangan ilmu pengetahuan dan logika manusia itu sendiri terbatas. Nah, Gilamologi salah satunya akan menjawab masalah ini yang akan dijelaskan secara lengkap dalam Transformasi Materi (Zat/Sel), tetapi agar semua pihak lebih nyaman untuk terus membaca tulisan ini, maka Gilamologi coba menjawab dulu dengan pendekatan logis, terutama bagi penganut Filsafat Manusia Materialistis dan Filsafat Ketuhanan Barat. Ada dua pendekatan paling logis dan sangat dipercaya oleh kaum Filsafat Materialistis yang akan saya lakukan, yaitu Pendekatan Teori Matematika dan Pendekatan Hasil Eksperimental.
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat kami kecuali orang-orang yang zalim. (Al Ankabut 29:49)
“Inikah Tanda-tanda Kebesaran (Keberadaan) Allah?”
Semoga Hidayah Kebenaran Islam dari Allah SWT selalu bersama Anda.
Dan jika ada kesalahan tulisan..itu kesalahan saya sebagai Manusia Biasa.
“Katakanlah: "Jika aku sesat maka sesungguhnya aku sesat atas kemudharatan diriku sendiri; dan jika aku mendapat petunjuk maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat". (Saba 34;50)
May Allah Bless Us/You (MABU)!!!

Bersambung Ke...JILID 19 Hal: 128-135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar